Rabu, 02 September 2009

EFEK AMFETAMIN TERHADAP SPERMATOGENESIS MENCIT ( Mus musculus ) GALUR A/J

ABSTRAK


Andriawati, Fitriyah. 2005. Efek Amfetamin Terhadap Spermatogenesis Mencit (Mus musculus ) Galur A/J. Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang, Program Sarjana Biologi. Pembimbing:
(I) Dra. Umie Lestari, M. Si., (II) Dra. Titi Judani, M. Kes.


Kata kunci: amfetamin, spermatogenesis, mencit.


Amfetamin sebagai salah satu obat psikotropika, memiliki kemiripan struktur dengan dopamin. Pemberian amfetamin dapat meningkatkan metabolisme dopamin dalam tubuh yang berakibat pada menurunnya sekresi GnRH oleh hipotalamus. Penurunan konsentrasi GnRH lebih lanjut akan menyebabkan penurunan konsentrasi FSH, LH dan testosteron (Hayati, 2001). Penelitian terdahulu tentang pengaruh amfetamin terhadap spermatogenesis pada tikus menunjukkan bahwa ada pengaruh amfetamin terhadap penurunan sel-sel spermatogenik (Hayati, 1999). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh amfetamin terhadap spermatogenesis mencit, yang ditinjau dari jumlah spermatozoa dan peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal. Sebanyak 24 ekor mencit jantan dikelompokkan dalam empat kelompok dan masing-masing disuntik dengan larutan amfetamin dosis 5,6 mg/kg bb; 4,9 mg/kg bb; 4,2 mg/kg bb dan 0 mg/kg bb, secara sub kutan di bagian tengkuk, setiap dua hari sekali selama 36 hari. Pengamatan dan penghitungan spermatozoa dilakukan pada suspensi spermatozoa yang diteteskan di atas kaca benda Improved Neubauer dan diwarnai dengan Eosin-Nigrosin untuk mendapatkan data jumlah spermatozoa dan persentase spermatozoa abnormal. Hasil analisis varian (ANAVA) dan uji lanjut BNT menunjukkan dosis amfetamin yang dipergunakan dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap jumlah spermatozoa, hal ini didukung pula oleh berat epididimis pada kelompok mencit perlakuan ternyata juga tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok kontrol. Namun amfetamin dengan dosis yang dipergunakan dalam penelitian ini berpengaruh terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal.



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Psikotropika adalah kelompok obat-obatan yang dapat merangsang sistem saraf pusat dan mempengaruhi kondisi psikologis dari pemakainya serta dapat menimbulkan ketergantungan. Obat-obatan yang tergolong psikotropika diantaranya adalah amfetamin, ekstasi atau 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA), shabu-shabu, putau, yang mudah didapat secara ilegal dengan harga terjangkau oleh masyarakat luas, sehingga dimungkinkan terjadi penyalahgunaan pemakaian obat tersebut.
Pemakaian obat psikotropika dalam jangka waktu pendek seakan memberikan efek yang menguntungkan kepada pemakainya, misalnya peningkatan kewaspadaan, bertambahnya inisiatif, keyakinan diri, daya konsentrasi, peningkatan aktifitas motorik (Tanu, 1995) dan juga euforia (Kee, 1996). Penggunaan obat dalam jangka panjang dapat mengakibatkan sindroma psikologi dan fisik, insomnia, hipertensi, palpitasi jantung, anoreksia (Kee, 1996), tremor dan paling fatal pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan kematian. Selain itu juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fertilitas (Speroff, 1994 dalam Hayati, 1999).
Penggunaan amfetamin dapat merangsang sistem saraf pusat (SSP), secara sentral dapat menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme dopamin (Katzung, 1996 dalam Hayati, 1999), yang menimbulkan inhibitor sekresi gonadotropin yaitu FSH dan LH. Pada hewan jantan, jaringan target dari FSH dan LH adalah testis terutama sel Leydig dan sel Sertoli. Akibat peranan LH, sel Leydig mampu memproduksi testosteron yang berpengaruh terhadap spermatogenesis. Apabila ada gangguan terhadap sekresi testosteron maka akan terjadi gangguan terhadap spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus.
Penelitian terdahulu tentang efek amfetamin terhadap spermatogenesis tikus menunjukkan bahwa secara histologi, jumlah dan ukuran sel-sel spermatogenik menurun dibandingkan yang normal (Hayati, 1999). Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diteliti tentang efek amfetamin terhadap spermtogenesis dengan indikator yang lain, yaitu jumlah spermatozoa dan peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal mencit ( Mus musculus) galur A/J.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang ingin diperoleh jawabannya dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. apakah amfetamin berpengaruh terhadap jumlah spermatozoa mencit (Mus musculus) galur A/J?
2. apakah amfetamin berpengaruh terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal mencit (Mus musculus) galur A/J?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengenai efek amfetamin terhadap spermatogenesis mencit (Mus musculus) galur A/J adalah untuk:
1. mengetahui pengaruh amfetamin terhadap jumlah spermatozoa mencit (Mus musculus) galur A/J.
2. mengetahui pengaruh amfetamin terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal mencit (Mus musculus) galur A/J.

D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diuji melalui penelitian adalah sebagai berikut:
1. ada pengaruh amfetamin terhadap jumlah spermatozoa mencit (Mus musculus) galur A/J.
2. ada pengaruh amfetamin terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal mencit (Mus musculus) galur A/J.

E. Manfaat Penelitian
Meskipun hewan uji yang digunakan dalam penelitian adalah mencit (Mus musculus) galur A/J, namun metabolismenya mirip dengan manusia, sehingga perlu diinformasikan kepada masyarakat tentang hasil penelitian ini. Kalau dari hasil penelitian didapatkan amfetamin berpengaruh terhadap spermatogenesis diharapkan masyarakat tahu tentang dampak negatif pemakaian amfetamin dan tidak menggunakannya tanpa seijin dokter.

F. Definisi Istilah
Jumlah spermatozoa yaitu jumlah spermatozoa yang diperoleh dari suspensi epididimis bagian kauda. Abnormalitas spermatozoa adalah morfologi spermatozoa yang tidak normal yang meliputi bagian kepala, leher dan ekor yang diambil dari epididimis bagian kauda (Albert dan Roussel, 1983).


BAB II
KAJIAN PUSTAKA



A. Amfetamin
Amfetamin tergolong salah satu psikotropika yang memiliki banyak molekul turunan. Contoh molekul yang sangat mirip dengan amfetamin yaitu: efedrin, pseudoefedrin, dan fenilalanin. Contoh dari amfetamin racikan diantaranya adalah: 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA) yang dikenal sebagai extacy; N- ethyl-3,4-methylenedioxyamphetamine (MDEA) juga dikenal sebagai methoxy-3,4-methylenedioxyamphetamine (MMDA) dan 2,5-dioxymthylamphetamine (DOM) juga dikenal sebagai STP (Anonimusc, 1999). Struktur amfetamin disajikan dalam gambar 1.

Gambar 2.1. Struktur molekul amfetamin ( Robert, 1996 ).
Pemakaian amfetamin dalam dosis rendah umumnya digunakan untuk pengobatan obesitas dan menurunkan depresi. Penggunaan amfetamin dalam dosis tinggi akan meningkatkan denyut jantung dan pernafasan, pengeluaran keringat secara berlebihan, tremor, dan memperlebar pupil mata. Efek psikologis yang ditimbulkan pada pemakaian amfetamin dengan dosis tinggi diantaranya adalah gangguan mental, perilaku kurang rasional dan salah persepsi terhadap stimulus (Anonimusb, 1991).
Amfetamin memiliki kemiripan struktur dengan dopamin yaitu pada gugus amina dan pada C-β (Tanu, 1995). Dalam kondisi normal dopamin berfungsi mengontrol sekresi GnRH bebas, yang selanjutnya berfungsi mengendalikan sekresi FSH dan LH (Lestari, 2002). Dengan kemiripan tersebut amfetamin dapat berasosiasi dengan GnRH sehingga berakibat pada menurunnya konsentrasi GnRH dan berakibat pula pada menurunnya sekresi FSH dan LH (Handly, 2002). Seperti diketahui FSH dan LH berpengaruh terhadap sekresi testosteron, sedangkan testosteron sendiri berperan dalam spermatogenesis. Maka dengan terganggunya sekresi FSH dan LH sebagai akibat dari aktivitas amfetamin, spermatogenesis terganggu pula.

Gambar 2.2. Perbandingan struktur molekul dopamin dan amfetamin (Tanu, 1995).


B. Sistem Reproduksi Mencit Jantan
Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas sepasang kelenjar kelamin (testis), saluran reproduksi dan kelenjar asesori serta organ kopulasi. Masing-masing organ tersebut berjumlah sepasang, kecuali uretra dan penis (Rugh, 1968:7). Menurut Nalbandov (1990) dan Behre (2003), testis merupakan suatu kelenjar endokrin, karena memproduksi testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig yang berpengaruh pada sifat-sifat jantan dan berperan dalam spermatogenesis.

Gambar 2.3. Sistem reproduksi mencit jantan (ventral) (Rugh, 1968:7).
Rugh (1968) menjelaskan bahwa di dalam testis mencit terdiri dari tubulus seminiferus dan jaringan stroma. Lapisan dalam epitel tubulus seminiferus terdapat sel germinatif dan sel sertoli, sedangkan pada jaringan stroma terdapat pembuluh darah, limfe, sel saraf, sel makrofag dan sel Leydig. Sel Leydig berfungsi menghasilkan hormon testosteron. Sekresi hormon oleh sel Leydig dikontrol oleh hormon gonadotropin. Bila sekresi hormon gonadotropin mengalami hambatan maka sekresi testosteron akan mengalami penurunan.
Rugh (1968) menjelaskan bahwa pada mencit jantan terdapat saluran reproduksi yang terdiri atas vas eferens, epididimis, vas deferens, duktus ejakulatorius dan uretra. Vas eferens merupakan saluran yang berkelok-kelok dan lumennya dibatasi oleh sekelompok sel epitel bersilia. Epididimis terdiri dari bagian kaput, korpus dan kauda. Epididimis berfungsi sebagai tempat maturasi sperma dan tempat penyimpanan sperma sementara. Menurut Nalbandov (1990) maturasi spermatozoa di tandai dengan menghilangnya protoplasmik droplet dari bagian kepala spermatozoa. Epididimis pada bagian kaput berfungsi untuk penyerapan cairan yang dikeluarkan oleh testis. Fungsi lain epididimis adalah memberikan sekresi cairan yang diproduksi oleh sel-sel epitelnya untuk membantu perubahan morfologi akrosom yaitu melalui kondensasi inti, pelepasan sitoplasma, peningkatan muatan negatif dan penambahan lapisan glikoprotein (Johnson & Everitt, 1988).
Spermatozoa yang berasal dari epididimis akan diteruskan menuju ke vas deferens. Lumen vas deferens tersusun atas sekelompok sel epitel kolumnar berlapis semu. Vas deferens dibungkus oleh lapisan otot longitudinal di bagian luar dan dalamnya, sedangkan lapisan otot sirkuler terletak diantara keduanya. Lanjutan vas deferens adalah duktus ejakulatorius. Duktus ejakulatorius memiliki otot-otot yang kuat dan berperan selama ejakulasi. Saluran ini akan bermuara pada uretra. Uretra tersusun atas sekelompok sel epitel transisional, jaringan ikat longgar, banyak terdapat pembuluh darah dan dibungkus lapisan otot lurik yang tebal (Rugh, 1968).
Kelenjar seks asesori terdiri atas vesikula seminalis, kelenjar koagulasi, ampula, bulbouretra dan kelenjar preputialis (Rugh, 1968). Fungsi kelenjar seks asesori secara umum adalah mengeluarkan sekret cairan berupa plasma semen yang berfungsi sebagai medium pelarut dan sebagai pengaktif sperma karena semen adalah substrat yang kaya akan natrium, kalium klorida, nitrogen, asam sitrat, asam askorbat, inositol, fruktosa, fosfatase dan sedikit vitamin (Nalbandov, 1990). Penis sebagai organ kopulasi berfungsi untuk menyalurkan spermatozoa ke dalam saluran reproduksi betina. Penis terdiri dari bagian-bagian: korpus kavernosum penis, korpus kavernosum uretra, preputialis.


C. Spermatogenesis
Spermatogenesis terjadi di dalam tubulus seminiferus. Spermatogenesis pada mencit memerlukan waktu 35,5 hari atau spermatogenesis akan selesai menempuh 4 kali daur epitel seminiferus. Lama satu kali daur epitel seminiferus pada mencit adalah 207 jam ± 6,2 jam (Oakberg, 1957 dalam Rugh, 1968). Menurut Hardjopranoto (1995), secara umum spermatogenesis dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap proliferasi, tahap pertumbuhan, tahap pematangan dan tahap transformasi/spermiogenesis.
Pada spermatogenesis, Follicle stimulating hormone (FSH) memiliki peranan yang penting, yaitu berperan dalam menstimulasi kejadian awal spermatogenesis diantaranya proliferasi spermatogonia (Zhang, 2003), peranan ini ditunjukkan dengan fungsi FSH untuk menstimulasi pertumbuhan sel germinatif dalam tubulus seminiferus (Gofur, 2002). Pada tahap proliferasi, spermatogonium mengalami pembelahan mitosis menjadi spermatogonia tipe A selama tiga mitosis pertama, kemudian menjadi spermatogosia tipe intermediet setelah pembelahan ke empat dan menjadi spermatogonia tipe B setelah pembelahan ke lima (Handayani, 2001). Selama tahap pertumbuhan spermatogonia mengalami pertambahan volume. Spermatogonia tipe B kemudian tumbuh membentuk spermatosit I (primer). Pada tahap pematangan, spermatosit primer akan mengalami pembelahan reduksional (meiosis).
Selama pembelahan meiosis, FSH sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pembelahan meiosis (Zhang, 2003). Pembelahan meiosis yang dialami oleh spermatosit primer dimulai dari meiosis I dilanjutkan ke meiosis II. Dari masing-masing fase pembelahan ini masih dibagi lagi ke dalam beberapa tahap, yaitu: profase, metafase, anafase dan telofase. Tahap profase I meiosis I merupakan tahap yang sangat panjang sehingga dikelompokkan lagi dalam lima stadia, yaitu: leptotene, zigotene, pakhitene, diplotene, dan diakinesis (Gardner, 1991). Menurut Suryo (1995) ciri dari masing-masing stadia sebagai berikut: (a) Lepototene memperlihatkan kromosom sebagai benang panjang, sehingga masing-masing kromosom belum dapat dikenal; (b)Zigotene memperlihatkan bahwa kromosom-kromosom homolog berpasangan; (c) Pakhitene merupakan stadia yang paling lama dari profase I meiosis, benang-benang kromosom tampak semakin jelas karena adanya kontraksi dari kromosom sehingga kromosom tampak semakin menebal. Pada stadia ini berlangsung proses biologis yang sangat penting yaitu pindah silang (“Crossing over”). Pada stadia ini spermatosit primer mudah mengalami kerusakan dan degenerasi yang sangat luas (Johnson & Everitt, 1988); (d) Diplotene ditandai dengan memisahnya kromatid-kromatid yang semula berpasangan membentuk bivalen; (e) Diakinesis yang merupakan stadia terakhir memperihatkan kromosom-kromosom makin memendek dan kiasmata semakin jelas. Dari meiosis I akan dihasilkan dua sel anak spermatosit sekunder, masing-masing berisi satu set kromosom tunggal.
Pada meiosis II, terjadi pembentukan spermatid yang berasal dari spermatosit sekunder. Pada meiosis II ini masing-masing kromosom yang berada pada daerah ekuatorial hanya terdiri dari dua kromatid yang bersatu di sentromernya. Sentromer kemudian akan terbelah dan masing-masing kromatid akan bergerak menuju ke kutub yang berlawanan. Hasil dua kali pembelahan, akan terbentuk empat sel anak (Gofur, 2002).
Pada tahap transformasi/spermiogenesis, spermatid mengalami serangkaian perubahan pada nukleus dan sitoplasma. Spermatid mengalami perubahan bentuk menjadi spermatozoa yang memiliki kepala, leher dan ekor. Handayani (2001) dan Gofur (2002) menjelaskan bahwa transformasi spermatid menjadi spermatozoa dibedakan menjadi empat fase, yaitu: (1) fase golgi, dimana pada fase ini aparatus golgi dari spermatid membentuk granula yang kaya glikoprotein yaitu granula akrosom; (2) fase tutup dicirikan dengan granula akrosom tumbuh dan menutupi permukaan inti membentuk suatu tutup, pada saat itu membran inti kehilangan pori-pori, kedua sentriol menuju ke tempat yang berlawanan pada membran inti dan flagelum tumbuh dari distal sentriol, dari proksimal sentriol dibentuk leher yang mengikatkan ekor ke inti; (3) fase akrosom memperlihatkan inti mulai memanjang dan sitoplasma berpindah tempat maju ke daerah flagelum yang sedang berkembang; (4) fase pematangan ditunjukkan dengan inti memanjang dan kromatin berkondensasi di bawah tudung akrosom, membentuk inti yang spesies spesifik dan kehilangan membran inti dan nukleoplasma, aparatus golgi selesai membentuk tudung akrosom dan mulai berubah bentuk. Selama tahap transformasi/spermiogenesis testosteron sangat diperlukan terutama untuk menjaga supaya spermiogenesis berlangsung dengan sempurna (Zhang, 2003). Sekresi testosteron oleh sel-sel Leydig merupakan akibat dari aktivitas LH. Dalam hal ini LH menstimulasi aktivitas adenil siklase sehingga meningkatkan cAMP intraseluler. Kenaikan cAMP menyebabkan terjadinya fosforilasi protein intraseluler oleh aktivasi protein kinase, yang akan mengubah pregnenolon menjadi testosteron (Handayani, 2001).
Menurut Rugh (1968), spermatozoa mencit terdiri dari bagian kepala, bagian tengah dan ekor. Kepala mempunyai kait dengan panjang kira-kira 0,008 mm, bagian tengah pendek dan ekor sangat panjang (rata-rata 0,1226 mm). Pada kepala terdapat akrosom yang mengandung enzim hyluronidase yang berfungsi pada saat fertilisasi. Di dalam kepala terdapat inti. Pada bagian tengah terdapat mitokondria, aparatus golgi dan dua sentriol. Ekor menyerupai bentukan flagelum dan digunakan untuk pergerakan terutama pada saat berada dalam alat kelamin betina. Morfologi spermatozoa digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.4. Spermatozoa mencit (Rugh, 1968)
Kemampuan bereproduksi dari hewan jantan dapat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan. Produksi semen yang tinggi dinyatakan dengan volume semen yang tinggi dan konsentrasi spermatozoa yang tinggi pula. Sedangkan kualitas semen yang baik dapat dilihat dari persentase spermatozoa yang normal dan motilitasnya (Hardjopranoto, 1995). Albert dan Roussel (1983) menyebutkan bahwa konsentrasi sperma pada epididimis dari mencit berumur 70 hari atau lebih, sebanyak ≥ 8,11 ± 2,7 juta/ml, dengan jumlah sperma normal ≥ 5,74 ± 8,9% dan jumlah sperma yang abnormal 6,6 ± 2,6%. Sperma abnormal akan menurunkan fertilitas jantan. Beberapa abnormalitas tertentu dari sperma diketahui ada yang bersifat genetik (Nalbandov, 1990).
Abnormalitas pada sperma dapat terjadi pada kepala, leher dan ekor. Toelihere (1985) mengklasifikasikan abnormalitas pada sperma dalam abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas primer terjadi karena gangguan spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus, sedangkan abnormalitas sekunder terjadi selama spermatozoa menyelesaikan maturasi di epididimis.
Yatim (1982) juga mengungkapkan bahwa abnormalitas sperma disebabkan faktor hormonal, nutrisi, obat, akibat radiasi, atau oleh penyakit. Kekurangan hormon, misalnya rendahnya kadar testosteron yang diproduksi sel Leydig dapat menghambat spermatogenesis dan dapat mengganggu maturasi sperma di dalam epididimis.


BAB III
METODE PENELITIAN


A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh amfetamin terhadap spermatogenesis mencit (Mus musculus) galur A/J. Rancangan penelitian yang digunakan untuk pengelompokkan dan pemberian perlakuan terhadap hewan uji adalah RAK (Steel & Torrie, 1981).

B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dimulai sejak bulan September 2003 sampai dengan bulan Februari 2004, bertempat di Laboratorium Biologi Ruang 307 Universitas Negeri Malang.

C. Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian adalah amfetamin dengan berbagai dosis. Sedangkan variabel terikatnya berupa jumlah spermatozoa dan spermatozoa abnormal.

D. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan adalah mencit jantan galur A/J yang diperoleh dari laboratorium Biologi UM. Sampel yang diambil adalah mencit jantan dewasa galur A/J umur 10-12 minggu dan berat badan 19-23 gram sebanyak 24 ekor.

E. Prosedur Kerja
Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan pemeliharaan anakan. Setelah dewasa dipilih mencit yang berumur 10-12 minggu dengan berat badan 19-23 gram, sebanyak 24 ekor. Setiap anakan dipelihara dalam kandang berupa mika plastik berukuran 29 cm X 11 cm X 12 cm, tutup kandang terbuat dari besi. Untuk pemeliharaan, kandang diberi sekam dan ditempatkan dalam ruangan bersuhu ± 26,50 C, tiap anakan diberi makan pelet susu A dan air minum (air ledeng) secara ad libitum. Penimbangan berat badan dengan menggunakan timbangan meja O HAUSS dlakukan setiap dua hari sekali.
Dosis amfetamin yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan dosis efektif dalam penelitian Hayati (2001), yaitu 4 mg/kg bb. Selanjutnya dilakukan konversi dosis untuk mencit berdasarkan tabel konversi dari Tekhnik Farmakodinami dan Keamanan Obat (Anonimusa, 1986) dengan faktor konversi sebesar 0,14. Dosis amfetamin yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 5,6 mg/kg bb; 4,9 mg/kg bb; 4,2 mg/kg bb; 0 mg/kg bb (untuk keterangan cara pengenceran dosis dapat dilihat pada lampiran 5).
Hewan coba dikelompokkan dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok diberi amfetamin dengan dosis 0 mg/kg bb, 4,2 mg/kg bb, 4,9 mg/kg bb, dan 5,6 mg/kg bb selama 36 hari dengan waktu pemberian dua hari sekali. Larutan amfetamin diberikan dengan menggunakan syringe 1 ml sebanyak 0,5 ml yang disuntikkan di bagian tengkuk secara sub kutan.
Selanjutnya mencit dibunuh dengan cara dislokasi leher, dengan menggunakan alat bedah epididimis kauda diambil kemudian dimasukkan ke dalam cairan fisiologis NaCl 0,9% dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Selanjutnya epididimis kauda dicacah dengan menggunakan silet di dalam larutan HBSS (komposisi larutan HBSS dapat dilihat pada lampiran 6) (Freshny, 1987) sebanyak 10 ml sampai terbentuk suspensi (Syamrizal, 1995). Diambil 1 ml suspensi dan diencerkan sampai mencapai volume 10 ml, kemudian diambil dari suspensi hasil pengenceran sampai skala 0,5 dengan menggunakan pipet hemositometer Improved Neubauer untuk sel darah merah dan meneteskan pada kaca benda Improved Neubauer kemudian diamati dan dihitung.
Pengamatan dan penghitungan dilakukan dengan mikroskop cahaya perbesaran 10 x 40. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan hand counter, dan diulangi sebanyak tiga kali untuk masing-masing suspensi spermatozoa dari setiap epididimis kauda. Cara penghitungan jumlah spermatozoa berdasarkan prosedur WHO (1998) dalam Syamrizal (1995) sebagaimana tercantum dalam lampiran 7. Dalam pengamatan morfologi spermatozoa diambil suspensi spermatozoa hasil pengenceran kemudian diwarnai terlebih dahulu dengan Eosin-Nigrosin (modifikasi cara Bloom dalam WHO, 1988 dalam Syamrizal, 1995) metode pewarnaan Eosin-Nigrosin dapat dilihat dalam lampiran 8. Cara penghitungan jumlah spermatozoa dilakukan dengan menghitung jumlah spermatozoa secara keseluruhan termasuk juga menghitung jumlah spermatozoa abnormal.

F. Analisis Data
Data yang meliputi jumlah spermatozoa, berat epididimis dan persentase spermatozoa yang abnormal diuji dengan Analisis Varians (ANAVA) satu jalur dan apabila dari hasil perhitungan menunjukkan hasil yang signifikan, maka selanjutnya digunakan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) (Zar, 1984).


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian dan Analisis Data
Hasil penelitian tentang Efek Amfetamin Terhadap Spermatogenesis Mencit (Mus musculus A/J) meliputi jumlah spermatozoa, berat epididimis dan persentase spermatozoa abnormal, akan dibahas berikut ini.

1. Jumlah Spermatozoa
Hasil perhitungan jumlah spermatozoa dapat dilihat pada lampiran 1, sedangkan rerata perhitungan jumlah spermatozoa disajikan pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Rerata Perhitungan Jumlah Spermatozoa
Dosis ( mg/kg bb) Jumlah Spermatozoa ( juta/ml)
0 9.6389
4.2 9.3
4.9 9.1056
5.6 10.35003

Setelah dianalisis dengan ANAVA diperoleh nilai F hitung < F tabel 0.05 yang berarti bahwa tidak ada pengaruh pemberian amfetamin dalam berbagai dosis terhadap jumlah spermatozoa mencit. Hasil perhitungan jumlah spermatozoa dengan analisis varian, selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 2.

2. Berat Epididimis
Hasil perhitungan berat epididimis dapat dilihat pada lampiran 1, sedangkan rerata perhitungan berat epididimis disajikan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Rerata Perhitungan Berat Epididimis
Dosis ( mg/kg bb) Berat Epididimis (gram)
0 0.014333
4.2 0.014725
4.9 0.015475
5.6 0.015117

Setelah dianalisis dengan ANAVA diperoleh nilai F hitung < F tabel0,05 yang berarti bahwa tidak ada pengaruh pemberian amfetamin dalam berbagai dosis terhadap berat epididimis mencit. Hasil perhitungan berat epididimis dengan analisis varian, selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3.

3. Persentase Spermatozoa Abnormal
Data tentang persentase spermatozoa abnormal diperoleh berdasarkan metode perhitungan sperma yang ditetapkan oleh WHO (1998) dalam Syamrizal (1995). Data selengkapnya mengenai jumlah spermatozoa abnormal dapat dilihat dalam lampiran 1. Berikut ini adalah rerata persentase spermatozoa abnormal yang disajikan dalam tabel 4.3.
Tabel 4.3. Rerata Persentase Spermatozoa Abnormal
Dosis ( mg/kg bb) Spermatozoa Abnormal (%)
0
81.7165a
4.2 90.66633b
4.9 93.539b
5.6 96.034b

Berdasarkan hasil analisis varians terhadap persentase jumlah spermatozoa abnormal (hasil penghitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4) menunjukkan bahwa F hitung > F tabel0.05 berarti ada pengaruh pemberian amfetamin terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal. Dengan demikian dapat dilakukan uji lanjut BNT untuk mengetahui kelompok perlakuan manakah yang mulai memberikan pengaruh terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal.
Dari hasil uji lanjut BNT (perhitungan selengkapnya pada lampiran 4) diketahui bahwa pada dosis amfetamin 4,2 mg/kg bb telah memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal bila dibandingkan dengan kontrol. Begitupun dengan dosis-dosis yang lainnya juga menunjukkan pengaruh yang nyata. Namun dari hasil uji BNT juga diketahui bahwa tidak ada perbedaan pengaruh besarnya dosis amfetamin yang diberikan terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal. Hal ini ditunjukkan dengan notasi BNT yang sama baik pada mencit yang disuntik dengan amfetamin dosis 4,2 mg/kg bb; 4,9 mg/kg bb maupun dosis 5,6 mg/kg bb.
Untuk macam-macam abnormalitas sperma yang ditemukan selama pengambilan data, ditunjukkan dalam sebagai berikut:
a. Spermatozoa normal
b. Bagian tengah melengkung dan kepala kecil
c. Kait pada kepala bengkok
d. Bagian tengah melengkung
e. Kepala kecil (mikrosephali)
f. Droplet sitoplasma
g. Bentuk kepala tidak normal (tidak berbentuk sabit)
h. Ekor melengkung
i. Ekor membentuk sudut dan kait pada kepala tidak normal
j. Bagian tengah melengkung dan menempel pada kepala, ekor membentuk sudut
k. Bagian tengah melengkung, ekor membentuk sudut dan kepala tidak normal
l. Bagian tengah dan ekor melengkung
D. Pembahasan
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah amfetamin yang diberikan pada mencit dapat berpengaruh terhadap spermatogenesis, ditinjau dari jumlah spermatozoa dan peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal. Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa dengan pemberian amfetamin dalam berbagai dosis ternyata tidak berpengaruh terhadap jumlah spermatozoa. Jumlah spermatozoa yang dihasilkan oleh mencit yang disuntik dengan amfetamin tidak berbeda nyata dengan jumlah spermatozoa yang dihasilkan oleh mencit dari kelompok kontrol. Namun demikian pemberian amfetamin dalam berbagai dosis ternyata dapat meningkatkan persentase jumlah spermatozoa abnormal.
Amfetamin diketahui memiliki kemiripan struktur dengan dopamin yaitu pada gugus amina dan pada C-β (Tanu, 1995). Dopamin merupakan senyawa peptida yang dihasilkan oleh neuron-neuron TIDA yang terletak di nukleus arkuata dan berfungsi mengatur sekresi GnRH yang juga dihasilkan di hipotalamus (Lestari, 2002). Dengan kemiripan tersebut amfetamin dapat berasosiasi dengan GnRH sehingga berakibat pada menurunnya konsentrasi GnRH bebas dan berakibat pula pada menurunnya konsentrasi FSH dan LH (Handly, 2002). Seperti diketahui bahwa LH berpengaruh terhadap sel Leydig dalam memproduksi testosteron, sedangkan testosteron sendiri berperan dalam spermatogenesis.
Dari hasil penelitian diperoleh jumlah spermatozoa tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol hal ini diperkuat oleh data tentang berat epididimis kelompok perlakuan yang tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Ini dimungkinkan penurunan konsentrasi FSH yang terjadi sebagai akibat tidak langsung dari amfetamin kurang berpengaruh terhadap proliferasi spermatogonia yang terjadi pada awal spermatogenesis. Seperti diketahui FSH berpengaruh terhadap proliferasi spermatogonia (Zhang, 2003), demikian pula berfungsi untuk pertumbuhan sel germinatif (Gofur, 2002). Dengan demikian dimungkinkan amfetamin yang diberikan dengan berbagai dosis tidak sampai mengganggu aktivitas FSH pada tahap inisiasi spermatogenesis, ditunjukkan dengan jumlah spermatozoa yang tidak berbeda dengan kontrol.
Peningkatan prosentase spermatozoa abnormal yang diperoleh dari penelitian ini mungkin disebabkan karena penurunan konsentrasi FSH mengganggu kelangsungan meiosis yang dialami oleh spermatosit primer. Seperti diketahui FSH berpengaruh terhadap pembelahan meiosis (Zhang, 2003). Pada pembelahan meiosis ini, yaitu pada stadia pakiten profase I, dimana pada stadia ini berlangsung proses pindah silang (“Crossing over”) yang rentan terhadap faktor luar. Menurut Johnson & Everitt (1988) spermatosit primer pada stadia ini mudah sekali mengalami kerusakan, sehingga peluang terjadinya abnormalitas pada susunan kromosom spermatosit primer karena pengaruh faktor hormonal seperti penurunan FSH sangat besar sekali.
Selain itu, juga dimungkinkan karena penurunan konsentarsi LH berpengaruh terhadap sel Leydig sehingga produksi testosteron menurun. Mekanisme penurunan testosteron disebabkan terganggunya aktivitas adenil siklase karena kecilnya konsentrasi LH. Gangguan ini mengakibatkan cAMP menurun dan diikuti menurunnya fosforilasi protein intraseluler, sehingga perubahan pregnenolone menjadi testoteron terganggu dan berakibat menurunnya testosteron. Seperti diketahui testosteron sangat diperlukan selama tahap transformasi/spermiogenesis (Zhang, 2003). Kalau testosteron itu menurun mengakibatkan spermiogenesis terganggu sehingga akan menghasilkan morfologi spermatozoa yang kurang normal.
Di samping itu testosteron juga berpengaruh terhadap maturasi spermatozoa di epididimis (Handayani, 2001). Jika terjadi penurunan testosteron maka sel epididimis akan mengalami regresi fungsi dan struktur. Regresi fungsi yang terjadi pada sel epididimis dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas sekunder pada spermatozoa, hal ini terjadi karena gangguan terhadap sekresi yang dihasilkan oleh sel epididimis yang dibutuhkan untuk perubahan morfologi akrosom (Johnson & Everitt, 1988). Gangguan pada maturasi spermatozoa mengakibatkan abnormalitas spermatozoa.


BAB V
PENUTUP


A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada pengaruh amfetamin terhadap jumlah spermatozoa yang dihasilkan pada mencit (Mus musculus) galur A/J.
2. Amfetamin berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal pada mencit (Mus musculus) A/J.

B. SARAN
Saran-saran yang dapat dikemukakan oleh penulis bagi semua pengguna hasil penelitian ini dan yang sejenisnya adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian yang sejenis terhadap mamalia yang lebih tinggi tingkatannya untuk mengetahui apakah amfetamin yang diberikan juga dapat menimbulkan pengaruh yang sama.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang kadar FSH dan LH dalam darah akibat amfetamin.



DAFTAR RUJUKAN

Albert, M. dan Roussel, C. 1983. Change From Puberty to Adulthoodin The Concentration, Motility and Morphology of Mouse Epididymal Spermatozoa. International Journal of Andrology, 6 (1983): 446-460. [Full text].

Anonimusa, 1986. Tekhnik Farmakodinami dan Keamanan Obat. Bandung: ITB.

Anonimusb, 1991. Facts about Amphetamines. (http:// www.arf.org/isd/pim/amph. html). [Full text].

Anonimusc, 1999. Jenis dan Efek. (http://www.Anti.or). [Full text].

Behre, Herman M. & Bergmann, Martin. 2003. Primary Testicular Failure. (http://www.endotext.com, diakses 9-09-2004). [Full Text].

Freshny, R. I. 1987. Culture of Animal Cells, A Manual of Basic Technique, 2nd ed. New York: Alan R. Liss, Inc.

Gardner, Eldon John. 1991. Principles of Genetics. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Gofur, Abdul. 2002. Spermatogenesis. Malang: Biologi_UM.

Handayani, Nursasi. 2001. Fisiologi Reproduksi: Fungsi Testis dan Fertilisasi. Malang: Biologi_UM.

Handly, N. 2002. Toxicity Amphetamine. (http://www.emedicine.com.). [Full text].

Hardjopranoto, S. 1995. Ilmu kemajiran Pada Ternak. Surabaya: AUP.

Hayati, A. 2001. Efek Amfetamin Terhadap Ultrastruktur Sel Spermatogenik Tikus. Seminar PBI Cabang Jatim.

Johnson, Martin & Everitt, Barry. 1988. Essential Reproduction. London: Blackwell Scientific Publications.

Kee, Joyce L. & Hayes, Evelyn R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lestari, Umie. 2002. Fisiologi Reproduksi I. Malang: IMSTEP_JICA Biologi UM.

Nalbandov, A. V. 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan Unggas. Jakarta: UI Press.

Roberts, Debra. 1996. Designer Drugs. (http://www.camh.net) [Full text].

Rugh, R. 1968. The Mouse: Its Reproduction & Development. USA: Burgess Publishing. Co.

Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1981. Principles and Procedures of Statistics, a Biometrical Approach. Singapore: Mc. Graw Hill book. Co.

Suryo. 1995. Sitogenetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Syamrizal. 1995. Pengaruh Asam Metoksilat Terhadap Organ Reproduksi dan Fertilitas Mencit Albino Swiss Webster Jantan. Skripsi tidak diterbitkan, Bandung: ITB.

Tanu, Ian. 1987. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru, Bagian FK UI.

Toelihere, M. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: ITB.

Yatim, Wildan. 1982. Reproduksi dan Embriologi. Bandung: Penerbit Tarsito.

Zaar, H. J. 1984. Biostastical Analysis. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Zhang, Fu-Ping; Pakarainen, Tomi; Poutanen, Matti; Toppari, Jorma; & Huhtaniemi, Ilpo. 2003. The Low Gonadotropin-Independent Constitutive Production of Testicular Testosterone is Sufficient to Maintain Spermatogenesis. PNAS. November 11, 2003. Vol. 100. No. 23. 13692-13697. (http://www.pnas.org/cgi/content/full/100/2313692, diakses 19-09-2004). [Full text].

Identifikasi Talas ( Colocasia esculenta ( L ) Schoot )

BAB I
PENDAHULUAN


Indonesia sebagai negara tropis, terkenal akan keanekaragaman tumbuhannya. Kita sebagai pewaris Ibu Pertiwi diharapkan dapat menjaga dan melestarikan keanekaragaman tumbuhan tersebut. Dalam makalah ini kami ingin mengupas tentang jenis talas-talasan yaitu Colocasia esculenta (L) Schoot, yang termasuk famili Araceae, yang terdiri dari 100 lebih genus dan lebih dari 1500 spesies (Rubatzky,1998). Sebaian besar merupakan tanaman di daerah tropik dan sub tropik, dan terdapat juga spesies Araceae yang tergolong dalam kelompok tumbuhan epifit.
Taksonomi sebagian besar talas-talasan layak santap sangat membingungkan karena perbedaan antar spesies yang tidak jelas, dan karena berbagai nama lokal yang digunakan saling bertukar. Sebagian besar wilayah produksi memiliki kultivar atau klon lokal yang khas, dan penamaannya sering tidak relevan untuk identifikasi yang tepat.
Beberpa ciri umum genus dapat dikenali pada talas yang dibudidayakan. Jenis tanaman yang menghsilkan kormus anak (kormel) disebut talas atau bentul (dasheen); yang menghasilkan kormus agak kecil dengan kormel yang sedikit kecil disebut keladi (eddoe). Beberapa tipe lain ditanam khusus untuk diambil daun dan tangkai daunnya.
Keunikan lain adalah bahwa beberapa kultivar ditanama di sawah, sedangkan yang lain di lahan kering. Kultivar dikelompokkan berdasarkan ukuran tanaman, bentuk dan ukuran daun, warna daging kormus, bentuk bunga, dan kegunaan dalm masakan. Perbedaan dalam taraf rasa menggigit adalah sifat lain yang biasa digunakan untuk membedakan kultivar atau klon.


BAB II
DESKRIPTIF


1. Asal
Secara luas diakui bahwa talas-talasan berasal dari areal rawa dan hutan tropika bercurah hujan tinggi. Domestikasi talasan liar yang agak atau tidak memiliki rasa menggigit (nonacrid) dicapai melalui seleksi selama awal budidaya, yang diperkirakan sejak 7000 tahun yang lalu, mungkin sebelum budidaya padi (Rubatzky, 1998).
Di Amerika tropika, kecuali spesies Xanthosoma, genus talasan yang layak santap berasal dari Dunia Lama. Bentuk liar Colocasia ditemukan di India, bagian utara teluk Bengal. Dari asalnya di India tropika, Colocasia menyebar ke arah timur Cina, Jepang, dan beberapa kepulauan Pasifik. Penyebaran ke arah barat juga terjadi, yaitu ke Mesir, Afrika Timur, dan wilayah timur Mediterania. Penyebaran selanjutnya terjadi ke seluruh Afrika. Pada masa pasca-Kolombus, talas diintroduksikan ke wilayah Karibia dan Amerika tropika.
Penyebaran Xanthosoma sagitifolium (sente) dari daerah asalnya di wilayah tropika Amerika timur laut terjadi baru-baru ini. Jenis yang dibawa ke Afrika selama masa perdagangan budak (pada abad ke-16) ini secara cepat diterima dan sekarang menjadi tanaman penting berperingkat di bawah ubi kayu dan uwi. Karena kemiripannya dengan Colocasia, yang disebut ‘cocoyam’ (uwi kelapa), di beberapa lokasi, sente dikenal sebagai ‘new cocoyam’ (uwi kelapa baru). Ketahanannya terhadap hama dan penyakit mempercepat adaptasi dan penyebarannya di Afrika, Asia, dan beberapa kepulauan di Pasifik. Budidaya spesies Xanthosoma lain kurang penting, kecuali di wilayah tertentu di Asia Tenggara, India, dan beberapa kepulauan di Pasifik Selatan.

2. Perawakan
Talasan adalah tanaman herba monokotil tahunan. Kecuali spesies Amorphophallus, daun yang muncul dari tunas apikal komus berupa gulungan dengan tangkai daun panjang dan tegak yang menopang lembar daun yang lebar dan besar, berbentuk tameng. Tangkai daunnya lembut panjang padat berisi, tetapi memiliki banyak rongga udara yang memungkinkan tanaman beradaptasi terhadap kondisi tergenang. Sifat umum talasan adalah terdapatnya cairan getah menggigit yang ditemukan di seluruh jaringan.
Tinggi tanaman ini antara 0,5 – 1,5 m dan memiliki daun berjumlah 2 sampai dengan 5 helai. Daun merupakan daun lengkap, yaitu memiliki helaian daun, tangkai daun dan pelepah serta termasuk daun tunggal. Tangkai daun berwarna hijau, bergaris-garis tua dengan panjang 20 – 60 cm. Daun berbentuk perisai, berwarna hijau dan terkadang agak kekuning-kuningan. Pangkal daun berlekuk dan ujungnya meruncing. Ibu tulang daun daun besar dan dapat dibedakan dengan jelas dengan anak-anak tulang daun lainnya. Tepi daun rata, dengan pertulangan daun menjari dan tipe peruratan daun memata jala. Bagian bawah daun berlapis lilin, sedangkan bagian atas daun berwarna lebih cerah dari bagian bawahnya dan memiliki tekstur yang kasap. Batang sangat pendek, biasanya terbungkus oleh pelepah daun dan berbentuk umbi (bongkol) yang seringkali kita konsumsi. Batang berada di dalam tanah, berwarna coklat agak kehitaman dan terkadang diseliputi oleh bulu-bulu yang halus. Batang berbentuk bulat dan jarak antar ruas batang sangat sempit atau pendek. Arah tumbuh batang tegak, sehingga berdasarkan arah tumbuhnya cabang maka talas memiliki model arsitektur Chamberlain. Akar tanaman ini termasuk sistem perakaran serabut, dimana akar berasal atau tersusun atas sekelompok akar adventif yang terletak pada batang yang sangat pendek dan berbentuk filiformis.
Pada pengamatan kami, tidak ditemukan organ repoduktif seksualnya. Tetapi berdasarkan beberapa literatur (Steenis, 1975), maka dsekripsi dari organ reproduktivum tanaman ini adalah sebagai berikut: tongkol 2-3, dai ketiak daun, tangkai 15-60 cm. Seludang 10-30 cm panjangnya, oleh suatu penyempitan melintang dibagi menjadi 2 yang tidak sama besarnya; bagian bawah hijau, menggulung, tetap tinggal; bagian atas lebih panjang, kuning oranye, rontok. Bagian tongkol betina hijau, tercampur dengan bunga yang berkembang tak sempurna dan berwarna mentega, 1-4,5 kali lk 1 cm; di atasnya menyempit, warna mentega, dengan hanya bunga steril, bagian jantan berwarna mentega, panjang 3-6,5 cm, dengan kepala sari bersatu dalam kelompok; bagian ujung telanjang, panjang 2-5 cm. Bunga yang tumbuh tidak sempurna berbentuk gada persegi 3-5. Buah buni hijau, diameter lk 0,5 cm. Biji berbentuk spul, beralur membujur .

3. Kegunaan dan Komposisi
Kormus dan kormel talas-talasan digunakan sebagai sayuran berpati yang disiapkan dengan cara direbus, dan dimakan setelah dibakar, dipanggang, dikukus atau digoreng. Penyiapan bentuk pasta (getuk) dilakukan dari kormus talas rebus adakalanya juga berasal dari kormus sente rebus. Kedua hasil persiapan ini kadang-kadang dimakan setelah peragian, yang menyebabkan produk tersebut agak masam. Produk sente lebih terkenal daripada produk talas-talasan karena sente sendiri lebih mudah ditanam, lebih toleran terhadap kesuburan tanah rendah, lebih tahan terhadap penyakit, toleran terhadap kekeringan, dan kualitas layak santapnya lebih baik (Rubatzky, 1998).
Komus/kormel talasan adalah sumber pangan berkabohidrat tinggi yang murah, tetapi dari sudut gizi memiliki kandungan protein dan vitamin yang rendah. Pati talas-talasan mudah dicerna dan tidak menyebabkan alergi. Komposisi organ lumbung ini rata-rata 65-80% air dan 20-25% karbohidrat. Kandungan pati pada kormus dan kormel sente umumnya lebih daripada talas, dan kormel sente memiliki kandungan pati lebih tinggi daripada kormusnya. Kormus dan kormel kering dari kedua jenis talas ini dapat digiling menjadi tepung. Kormus dan kormel matang memiliki kandungan gula rendah.
Daun muda dan tangkainya yang lembut digunakan sebagai sayuran hijau. Kandungan protein daun sekitar dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi daripada kormus dan kandungan vitamin C nya umumnya lebih baik. Pucuk talas yang dipucatkan, yang dikonsumsi sebelum daunnya membuka, diperoleh dengan cara menyimpan kormus di tempat gelap pada suhu tinggi. Komponen penyebab rasa menggigit, sekalipun ada biasanya pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan dalam kormus, dan dapat dibuang dengan sekali atau dua kali mendidihkan kormus dalam air.


BAB III
KESIMPULAN


Bentul (Ind) atau Komba (Madura) yang dikenal sebagai spesies Colocasia esculenta, sebenarnya bukanlah tanaman asli Indonesia melainkan tanaman asli dari Afrika. Tanaman ini berbentuk herba menahun, dengan perbanyakan umumnya dilakukan secara vegetatif melalui umbinya yang ditanam. Berdasarkan literatur (Estiti, 19 dan Tjitrosoepomo, 19 ) diperoleh hasil pencandraan seperti yang telah disebutkan pada bagian deskripsi dari bab sebelumnya. Tanaman ini tidak hanya dimanfaatkan bagian kormus atau kormelnya tetapi juga daun dan tangkai daunnya karena kandungan protein, vitamin dan juga gulanya. Ilustrasi gambar untuk kejelasan dari tanaman ini ditunjukkan pada lampiran gambar, informasi terutama tentang organ reproduktivum dan bagaimana gambarnya diperoleh dari http://www.anbg.gov.au/angio/araceae.htm.


Daftar Rujukan

Anonim, Tanpa Tahun. Araceae Juss. http://www.anbg.gov.au/angio/araceae.htm. Diakses 13 Desember 2004.

Hidayat, B. Estiti. 19 . Morfologi Tumbuhan. Jakarta: DIKBUD DIRJEN DIKTI.

Rubatzky, Vincent E. Sayuran Dunia 1 Prinsip, Produksi, dan Gizi. Bandung: ITB

Steenis, Van C. G. G. J. Flora untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramitha.

Tjitrosoepomo, Gembong. 19 . Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: UGM PRESS.

BIOETIKA DAN DILEMA TANAMAN TRANSGENIK DALAM UPAYA PEMENUHAN PANGAN DUNIA

A. Pendahuluan
Di masa yang akan datang pertumbuhan penduduk dunia semakin meningkat. Proyeksi pada tahun 2030 yang dilaporkan Brown dan Kane (1994) dalam Aisyah (2003) memperlihatkan peningkatan jumlah penduduk cukup fantastis, kurang lebih 160% dari jumlah penduduk tahun 1990. Prediksi di Asia, India menempati rangking pertama (590 juta), disusul Cina (490 juta), Pakistan (197 juta), Bangladesh (129 juta) dan Indonesia (118 juta). Saat ini diduga 900 juta dari 5,8 miliar penduduk dunia terutama di negara-negara Asia dan Afrika pada saat ini sedang mengalami kelaparan akibat penurunan produksi pertanian per kapita (Suranto 1999) dalam Aisyah (2003). Penyebab utama penurunan produksi adalah gangguan hama dan penyakit tanaman. Laju peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali secara tidak langsung juga ikut andil memperburuk situasi ini. Upaya peningkatan produktivitas yang telah dilakukan belum dapat mencukupi kebutuhan karena selalu tidak mampu mengimbangi kecepatan peningkatan jumlah penduduk.
Beberapa dasawarsa yang lalu upaya meningkatkan dan memperbaiki kualitas produksi pertanian masih signifikan karena ketersediaan sumber daya alam dan teknologi pertanian cukup memadai dan berimbang dengan laju pertumbuhan penduduk. Keadaan ini sulit untuk dicapai atau dipertahankan di masa yang akan datang, kecuali jika ada pendekatan baru yang menawarkan ide dan teknik untuk meningkatkan produktivitas secara dramatis. Pencegahan serangan hama dan penyakit tanaman yang telah dilakukan dengan menggunakan pestisida tidak memberikan hasil yang memuaskan, mahal (hampir ¼ biaya produksi) dan terbukti berdampak negatif bagi lingkungan dan kehidupan. Aplikasi pestisida ini telah menyebabkan polusi air, tanah maupun udara. Oleh karena itu adopsi suatu teknologi baru tampaknya sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi produksi, memperbaiki kualitas produk dan meminimalkan pencemaran lingkungan. Teknologi baru tersebut bukan hanya membantu meningkatkan hasil pertanian untuk saat ini tetapi juga untuk masa-masa yang akan datang (Zohrah 2001).
Dengan adanya bioteknologi pertanian yang menghasilkan tanaman transgenik diyakini dapat menjadi tumpuan bagi masa depan umat manusia, yang terus bertambah jumlahnya di bumi yang kian ciut dan merosot kualitas lingkungannya ini. Namun, di masyarakat muncul kekhawatiran terhadap produk transgenik dan keamanannya bagi kesehatan manusia, keanekaragaman hayati dan lingkungan (Kompas, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa disamping produk teknologi, kita juga membutuhkan pengetahuan yang dapat menuntun kita supaya teknologi yang kita miliki dalam aplikasinya tergolong teknologi tepat guna dan ramah lingkungan. Karenanya dalam masa-masa mendatang kita perlu memasukkan kajian bioetika dalam hubungannya dengan pengaplikasian dari semua produk bioteknologi, termasuk diantaranya tanaman transgenik. Hal ini sangat diperlukan supaya jangan sampai produk transgenik yang kita harapkan mengatasi masalah, justru menambah masalah hanya karena adanya efek-efek yang tidak seperti harapan masyarakat. Bioetika secara langsung diharapkan mampu mengarahkan para ahli kita untuk memilih dan memutuskan produk transgenik mana yang diperlukan oleh masyarakat dan produk manakah yang tepat bagi masyarakat.

B. Perumusan Masalah
Tanaman transgenik yang dihasilkan melalui rekayasa genetika untuk sementara disimpulkan telah memberikan manfaat berupa peningkatan hasil, memberikan keuntungan dan efisiensi dalam proses produksi. Namun demikian sampai saat ini bahan pangan produk tanaman transgenik diterima dengan pandangan dan persepsi yang berbeda oleh masyarakat sesuai dengan informasi yang didapat. Untuk itu bioetika sangat diperlukan guna memperoleh produk tanaman transgenik yang sesuai atau yang dapat diterima oleh masyarakat tanpa menimbulkan persepsi yang berbeda serta aman bagi manusia dan lingkungannya.

C. Teori
Teknologi produksi tanaman transgenik
Ahli rekayasa genetik tanaman melakukan transformasi gen dengan tujuan untuk memindahkan gen yang mengatur sifat-sifat yang diinginkan dari satu organisme ke organisme lainnya. Beberapa sifat yang banyak dikembangkan untuk pembuatan tanaman transgenik misalnya (1) gen resistensi terhadap hama, penyakit dan herbisisda, (2) gen kandungan protein tinggi, (3) gen resistensi terhadap stres lingkungan seperti kadar alumium tinggi ataupun kekeringan dan (4) gen yang mengekspresikan suatu ciri fenotipe yang sangat menarik seperti warna dan bentuk bunga, bentuk daun dan pohon yang eksotik (Umar, 2002).
Dalam hubungannya dengan pembuatan tanaman transgenik terdapat tiga komponen penting yaitu: (Siatoepe, 2001)
1. Isolasi gen target. Gen target yang kita inginkan misalnya gen Bt (gen tahan terhadap penggerek yang diisolasi dari bakteri Bacillus thurigenensis) diekstrak kemudian dipotong dengan enzim restriksi. Gen yang sudah terpotong-potong kemudian diseleksi bagian gen mana yang menyandikan gen Bt dan diisolasi. Potongan gen Bt kemudian disisipkan ke dalam DNA sirkular (plasmid) sebagai vektor menghasilkan molekul DNA rekombinan gen Bt. Vektor yang sudah mengandung molekul DNA rekombinan gen Bt dimasukkan kembali ke dalam sel inang yaitu bakteri untuk diperbanyak. Sel inang akan membelah membentuk progeni baru yang sudah merupakan sel DNA rekombinan gen Bt.
2. Proses transfer gen ke tanaman target. Agar sel DNA rekombinan get Bt dapat terintegrasi pada inti sel tanaman maka diperlukan vektor yang lain lagi untuk memindahkan gen Bt ke dalam inti sel tanaman. Vektor tersebut adalah bakteri Agrobacterium tumefaciens. Bakteri ini menyebabkan penyakit tumor pada tanaman. Penyakit ini akan terjadi bila terdapat luka pada batang tanaman sehingga memungkinkan bakteri menyerang tanaman tersebut. Luka pada tanaman mengakibatkan tanaman mengeluarkan senyawa opine yang merangsang bakteri untuk menyerang tanaman dimana senyawa ini merupakan sumber carbon dan nitrogen dari bakteri. Akibat masuknya bakteri menyebabkan terjadinya proliferasi sel yang berlebihan sehingga menimbulkan penyakit tumor pada tanaman.
Kemampuan untuk menyebabkan penyakit ini pada tanaman ternyata ada hubungannya dengan DNA sirkular (plasmid) Ti (Tumor inducing plasmid) dalam sel bakteri A. tumefaciens. Sifat yang menyolok pada plasmid Ti ialah bahwa setelah infeksi oleh A. tumefaciens, sebagian dari molekul DNAnya berintegrasi dalam DNA kromosom tanaman. Segmen ini dikenal dengan nama T-DNA (transfer DNA)
Metode kerjasama antara tanaman dan A. tumefaciens ini digunakan oleh ahli rekayasa genetika tanaman untuk memindahkan gen Bt agar dapat terintegrasi dalam sel tanaman. Oleh karena itu langkah selanjutnya adalah menyisipkan DNA rekombinan yang sudah membawa gen Bt ke dalam plasmid Ti dari A. tumefaciens. Setelah itu A. tumefaciens yang membawa gen Bt diinokulasikan pada tanaman. Proses inokulasi tersebut dilakukan pada tanaman target yang sedang diregenerasikan dalam kultur jaringan. Hal ini memudahkan bagi proses transfer gen Bt ke dalam inti jaringan tanaman dimana tanaman masih dalam proses pembelahan sel yang sangat aktif .
3. Expresi gen pada tanaman transgenik. Gen yang sudah dimasukkan ke dalam tanaman target dalam hal ini adalah gen Bt yang mengekspresikan tanaman transgenik tahan terhadap hama penggerek harus dapat diexpresikan. Untuk mengetahui apakah gen tersebut terekspresi atau tidak digunakan penanda yaitu selectable and scoreable marker, dimana apabila tanaman target dapat tumbuh pada media yang mengandung antibiotika atau tanaman target menampakan warna khusus (warna biru untuk penanda gen gus) maka tanaman target itu adalah tanaman transgenik.

D. Pembahasan
Kekhawatiran Dampak Organisme atau Pangan Produk Transgenik
Penerapan bioteknologi seperti manipulasi gen pada tanaman budidaya telah memberikan manfaat yang tidak terbatas. Secara alamiah tumbuhan mengalami perubahan secara lambat sesuai dengan keberhasilan adaptasi sebagai hasil interaksi antara tekanan lingkungan dengan variabilitas genetika. Campur tangan manusia melalui rekayasa genetik telah mengakibatkan “revolusi” dalam tatanan gen. Perubahan drastis ini telah menimbulkan kekhawatiran akan munculnya dampak produk transgenik baik terhadap lingkungan, kesehatan maupun keselamatan keanekaragaman hayati (Aisyah, 2003).
Dalam banyak hal bahaya produk transgenik yang diduga akan muncul terlalu dibesar-besarkan. Tidak ada teknologi yang tanpa resiko, demikian pula dengan produk rekayasa genetik. Resiko dari produk transgenik tidak akan lebih besar dari produk hasil persilangan alamiah. Beberapa resiko pangan transgenik yang mungkin terjadi antara lain resiko alergi, keracunan dan tahan antibiotik (Fagan, 1997) dalam Aisyah (2003). Pangan transgenik berpotensi menimbulkan alergi pada konsumen yang memiliki sensitivitas alergi tinggi. Keadaan itu dipengaruhi sumber gen yang ditransformasikan. Kasus ini pernah terjadi pada kedelai transgenik dengan kandungan methionin tinggi, sehingga produknya tidak diedarkan setelah penelitian menunjukkan adanya unsur alergi. Kekhawatiran keracunan didasarkan pada sifat racun dari gen Bt terhadap serangga. Kecemasan tersebut tidak beralasan karena gen Bt hanya aktif bekerja dan bersifat racun bila bertemu sinyal penerima dalam usus serangga yang sesuai dengan kelas virulensinya. Gen tersebut tidak stabil dan tidak aktif lagi pada pH di bawah 5 dan suhu 65° C , artinya manusia tidak akan keracunan gen Bt terutama untuk bahan yang harus dimasak terlebih dahulu. Kemungkinan lain adalah resistensi mikroorganisme dalam tubuh menjadi lebih “kuat”. Kejadian ini peluangnya kecil karena gen yang ditranfer melalui rekayasa genetik akan terinkorporasi ke dalam genom tanaman.
Kekhawatiran bahaya terhadap keselamatan sumber daya hayati diduga terjadi melalui beberapa cara seperti 1) terlepasnya organisme transgenik ke alam bebas, dan 2) tranfer gen asing dari produk transgenik ke tanaman lain sehingga terbentuk gulma yang dapat merusak ekosistem yang ada sehingga mengancam keberadaan sumber daya hayati. Perubahan tatanan gen dapat mengakibatkan perubahan perimbangan ekosistem hayati dengan perubahan yang tidak dapat diramalkan (Hartiko, 1995) dalam Aisyah (2003). Prinsip dasar biologi molekuler menunjukkan 2 sumber utama resiko yang mungkin timbul. Pertama, perubahan fungsi gen melalui proses rekayasa genetik. Penyisipan gen berlangsung secara acak sehingga sulit untuk dikontrol dan diprediksikan apakah gen tersebut akan rusak atau berubah fungsi. Kedua transgen dapat berinteraksi dengan komponen seluler. Kompleksitas kehidupan organisme mengakibatkan kisaran interaksi tersebut tidak dapat di ramalkan atau dikontrol (Fagan, 1997) dalam Aisyah (2003).
Secara teoritis tanaman transgenik merupakan bagian dari masa depan karena sampai saat ini bukti-bukti ilmiah menunjukkan tidak ada alasan “kuat” untuk mempercayai adanya resiko “unik“ yang berkaitan dengan produk transgenik. Produk bioteknologi modern sama aman atau berbahayanya dengan makanan yang dihasilkan melalui teknik-teknik tradisional. Bagaimanapun di masa yang akan datang, bioteknologi modern berpotensi sebagai alat untuk menjawab tantangan dan membuka kesempatan dalam mengembangkan bidang pertanian terutama untuk memperoleh bahan makanan yang lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik.

Sikap terhadap Produk Transgenik

Pentingnya pengetahuan tentang ilmu rekayasa genetika. Pemberi informasi yang tidak dibekali dasar pengetahuan tentang rekayasa genetika biasanya cenderung menelan mentah-mentah ulasan pers asing sehingga objektifitas permasalahan dan validitas data sulit diperoleh. Sebagai contoh adalah penolakan negara barat terhadap padi transgenik yang menghasilkan provitamin A. Penolakan ini terjadi karena mereka bisa memperoleh vitamin A dari sumber lain. Bagi negara-negara berkembang yang rawan pangan bahan pangan yang kaya vitamin A sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu penting untuk memahami terlebih dahulu latar belakang penolakan produk transgenik di suatu negara (Suwanto 2000a) dalam Aisyah (2003).
Preferensi pribadi lebih baik tidak ditanggapi secara umum. Diperlukan informasi yang seimbang dan kebijakan yang hati-hati dari pemerintah dan pihak terkait yang dapat dijadikan acuan bagi orang awan untuk menentukan sikap dalam mengambil keputusan terhadap produk transgenik. Penilaian terhadap tanaman transgenik dapat mengandung persaingan bisnis yang terselubung (Suwanto 2000a) dalam Aisyah (2003). Pestisida kimiawi tidak terlalu diperlukan lagi dalam budidaya tanaman transgenik yang tahan serangan hama dan penyakit, sehingga pihak-pihak berkepentingan akan berusaha menuntun masyarakat dalam menentukan sikap sesuai tujuan mereka masing-masing.
Bukti ilmiah diperlukan untuk menghilangkan keraguan. Salah satu kekhawatiran yang paling menonjol adalah terjadinya transfer gen dari organisme transgenik ke mikroorganisme. Secara alamiah transfer gen sangat jarang terjadi. Frekuensi pengambilan DNA linier oleh permukaan sel 10-5 atau lebih kecil, untuk terintegrasi ke dalam genom resipien memerlukan illegitimate recombination dengan frekuensi 10-8 atau lebih kecil dan kemudian untuk ekspresinya dibutuhkan aktivasi oleh elemen loncat dengan frekuensi 10-5 atau lebih kecil sehingga total frekuensi suatu gen ditransformasikn di alam adalah 10-18. Bakteri dalam usus besar manusia tidak lebih dari 1015 dan dalam satu gram tanah hanya sekitar 1010, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kejadian transformasi gen di alam tadi probabilitasnya mendekati nol. Dalam kondisi tanpa tekanan seleksi, frekuensi gen sebesar 10-6 sulit terjadi karena jumlah bakteri yang mendapat transfer gen tidak sebanding dengan bakteri yang tidak mendapatkannya (Suwanto 2000b) dalam Aisyah (2003).
Tekanan seleksi yang menguntungkan bakteri penerima gen, maka transfer gen tersebut akan memberikan akibat yang nyata. Dalam melakukan penilaian terhadap produk transgenik pertimbangan ada tidaknya tekanan seleksi pada suatu kejadian yang jarang terjadi perlu mendapat perhatian serius. Perkembangan pengetahuan saat ini belum memungkinkan untuk menghitung semua probabilitas kejadian transfer gen secara tepat. Pada dasarnya belum tersedia informasi untuk membuat perhitungan kemungkinan suatu tahapan transfer gen. Data seperti itu diperkirakan belum dapat tersedia dalam waktu dekat karena variasi prokariota yang luar biasa atau mungkin terdapat mekanisme tranfer gen yang baru. Analisis resiko yang fair dapat dilakukan dengan membandingkan produk yang akan dianalisis dengan aplikasi yang secara umum telah dierima. Misalnya bila pemberian antibiotik untuk hewan dalam waktu yang lama dan terus menerus dianggap aman maka pemberian produk transgenik sebagai pakan dianggap lebih aman. Kedua kejadian itu mengambil resiko teoritis yang sama yaitu pengambilan DNA oleh bakteri usus melalui transformasi alamiah dan integrasi DNA ke dalam genom resipien. Pendekatan evaluasi seperti ini tidak diskrimanatif dalam menilai produk yang berbeda (Suwanto 2000b) dalam Aisyah (2003).
Penggunaan bioteknologi telah diakui sebagai teknologi yang memberi manfaat terutama dalam aktivitas pertanian. Meskipun demikian aplikasi tersebut harus tetap diiringi dengan langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan produk tersebut tidak membahayakan kehidupan manusia. Protokol keamanan hayati Cartagena adalah salah satu upaya global yang dapat dipakai masyarakat dunia untuk mematuhi peraturan yang berkaitan dengan produk transgenik. Keberadaan peraturan-peraturan ini diharapkan tidak menghalangi pertumbuhan dan perkembangan bioteknologi (Zohrah 2001).
Setahun terakhir ini issue bioteroris menjadi fenomena baru yang muncul akibat banyaknya aksi teror yang terjadi pada saat teknik rekayasa genetika berkembang sangat pesat. Prestasi gemilang rekayasa genetika yang telah dicapai dibayangi penyalahgunaan oleh teroris. Kebebasan mengakses data genetika pada gen bank dikhawatirkan akan dimanfaatkan para teroris sebagai sarana menciptakan senjata yang berbahaya bagi keselamatan manusia. Presiden Amerika pada pertengahan tahun lalu telah menandatangani UU bioterorisme yang mencakup kesanggupan Amerika terhadap kontrol zat biologi berbahaya dan racun, keselamatan dan keamanan pasokan makanan, obat-obatan dan air minum. Kekhawatiran penyalahgunaan data genetika ini diragukan karena tidak ada pakar yang mumpuni untuk mengubah informasi tersebut menjadi senjata berbahaya. Database yang ada tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan bakteri atau virus pembunuh. Upaya menyembunyikan data genetika justru akan mendorong kepada sains yang membahayakan. Sebagai tindakan kewaspadaan, data akan diklasifikasikan khususnya data dari sejumlah organisme yang dikenal berbahaya. Membuka akses publik terhadap data tersebut dianggap lebih banyak manfaat karena akan merangsang berbagai penelitian untuk mencapai kemajuan dari pada kerugiannya, seperti yang dikemukakan oleh Baber dalam Suriasoemantri (1988) bahwa seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuan apapun bentuknya dari masyarakat luas dan apapun yang menjadi konsekuensinya (Aisyah, 2003).
Dalam upaya memberikan informasi yang transparan tentang tanaman transgenik kepada masyarakat, perlu adanya kerja sama yang erat diantara semua pihak yang terlibat (stakeholders). Berikut adalah beberapa hal yang perlu dilakukan oleh stakeholder untuk mengkaji lebih jauh tentang pengembangan tanaman transgenik :
(1) Pemerintah
Sebagai pihak yang dapat menentukan kebijakan, pemerintah harus membuat peraturan-peraturan yang tegas tentang keberadaan tanaman transgenik, baik yang mengenai pemanfatannya maupun bagi dampak yang ditimbulkannya. Disamping itu, pemerinyah dapat menunjuk lembaga-lembaga independen yang bertugas mengawasi pengembangan tanaman transgenik. Pemerintah juga harus menghindari vested interest atau kepentingan tertentu pada tanaman transgenik karena dianggap dapat mendukung kebijakan penyediaan pangan. Independensi komisi keamanan hayati dan tanaman pangan sangat diperlukan.
(2) Peneliti
Lembaga penelitian harus melakukan tahapan kegiatan sesuai dengan standard operating procedures (sop). Disamping itu, peneliti juga harus melakukan pengawasan ketat sesuai dengan integritas ilmiah. Disisni perlu adanya suatu komisi etika yang mendampingi dan mengawasi proyek penelitian dari sudut pandang etika. Selain itu, penelitian yang dilakukan harus melibatkan semua pihak termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi lainnya.
(3) Produsen
Transparansi produk transgenik harus diutamakan, caranya antara lain dapat dilakukan melalui labelling sehingga produk tersebut dapat diketahui dengan jelas oleh masyarakat. Produsen jangan hanya berorientasi komersial pada keuntungan semata tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan sekitarnya.
(4) Petani
Petani harus mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang tanaman transgenik tersebut. Disamping itu, petani disarankan tidak berorientasi pada keuntungan sesaat atau jangka pendek, tetapi harus memperhatikan kontinuitas produksi dan pendapatannya.

(5) Masyarakat
Sebagai pihak yang akan menggunakan produk transgenik, masyarakatharus bersikap hati-hati dan kritis. Informasi yang jelas dan rinci tentang apa dan bagaimana tanaman transgenik harus diketahui dengan pasti. Setidak-tidaknya sikap atau keputusan yang diambil telah didasarkan atas data dan fakta yang tidak keliru atau menyesatkan.

Bioetika dalam Penelitian Bioteknologi
Menurut Moeljopawiro (2002) dalam Aisyah (2003), bioetika adalah etika yang terkait dengan kehidupan yang pertanggungjawabannya dua arah yaitu vertikal dan horizontal, kepada Yang Maha Pencipta dan kepada sesama manusia. Sukara (2002) menambahkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat seakan-akan berlangsung secara otomatis dan tidak tergantung kepada kemauan manusia, sehingga seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan tadi tidak memperhatikan aspek etika. Akibatnya pada saat teknologi akan diterapkan sering mendapatkan reaksi negatif dari kalangan masyarakat.
Perkembangan revolusi genetika yang begitu pesat memberi peluang sangat besar terjadinya perubahan-perubahan di masa mendatang yang akan berpengaruh besar terhadap peradaban manusia. Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia untuk mencapai tujuan hidup yang berhubungan dengan hakekat kemanusiaan itu sendiri (Nasoetion 1999) dalam Aisyah (2003). Posisi pakar ilmu menurut Sukara (2002) sangat penting karena hanya mereka yang mampu menganalisis potensi risiko dan keuntungan serta memiliki kewajiban etis untuk menganalisis secara fair, terbuka dan tidak berat sebelah. Keputusan akhir tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada ilmuwan karena monopoli ilmu tidak berarti memonopoli etika dan kearifan. Dari standar etika dan kaidah berperilaku yang diberlakukan kelompok keilmuwan lain terutama dari etika kelompok ilmuwan biologi (Rifai 2002), dapat diperkirakan etika dan kaidah perilaku ilmuwan bioteknologi adalah pertama ilmuwan bioteknologi harus menghormati standar etika tertinggi, mengemban kewajiban moral dan tanggung jawab profesional terhadap masyarakat umum artinya secara aktif dan proaktif melayani dan memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Pernyataan ilmiah untuk umum harus dijaga ketepatannya jauh dari sensasi tanpa membesar-besarkan kelebihannya ataupun menutupi kekurangannya. Kedua, pakar bioteknologi berkewajiban memajukan, memanfaatkan, mengembangkan dan menguasainya bidangnya untuk didarmabaktikan bagi kepentingan umum dan kesejahteraan umat manusia serta dapat memahami keterbatasan pengetahuan dan ilmunya serta menghormati makna kebenaran ilmiah. Ketiga, pakar bioteknologi senantiasa berusaha memajukan profesinya dengan meningkatkan kemampuan dan kompetensinya sehingga selalu dapat mengikuti perkembangan mutakhir bidangnya, mendukung perhimpunan ilmiahnya, menelorkan berbagai gagasan dan informasi guna menyuburkan kemitraan dalam bersinergi sesamanya. Keempat, pakar bioteknologi dituntut untuk memahami dan mengantisipasi dampak kegiatannya pada lingkungan, disamping berperikemanusiaan mereka perlu pula berperikehewanan dan berperiketumbuhan. Nasoetion (1999) dalam Aisyah (2003) menambahkan bahwa kewajiban seorang ilmuwan secara batiniah adalah memberikan sumbangan pengetahuan baru yang benar kepada kumpulan pengetahuan yang benar yang sudah ada, walaupun ada tekanan ekonomi, atau sosial yang memintanya untuk tidak melakukan hal itu, karena tanggung jawab para ilmuwan adalah memerangi ketidaktahuan, prasangka dan takhayul di kalangan manusia mengenai alam semesta ini.

Kesimpulan
Rekayasa genetika merupakan salah satu teknologi yang potensial sebagai alternatif pemecahan masalah pangan dunia untuk menghasilkan tanaman transgenik. Tanaman transgenik telah banyak dilepas sebagai tanaman pangan dengan tujuan seperti tahan insekta, tahan herbisida, mengandung vitamin dan gizi tinggi, tahan penyimpanan jangka panjang, dsb. Sampai saat ini fakta menunjukkan bahwa kelompok tanaman ini telah memberi banyak manfaat khususnya dalam dunia pertanian karena memiliki produktivitas dan kualitas tinggi serta lebih ramah lingkungan.
Tidak ada teknologi tanpa resiko, begitu juga dengan tanaman transgenik. Adanya resiko ini menimbulkan kekhawatiran pada kelompok tertentu. Kekhawatiran yang muncul disebabkan kurangnya pengetahuan dasar dan proses perakitan tanaman transgenik. Para ilmuwan tidak perlu menutupi resiko yang akan timbul jika ada, karena resiko tersebut sebenarnya merupakan awal dari penelitian berikutnya yang menjadi solusi dari problematika tersebut sehingga tetap bermanfaat bagi masyarakat umum.
Sikap masyarakat terhadap tanaman transgenik sangat bergantung kepada fakta yang muncul dari manfaat dan resiko tanaman transgenik. Sejauh ini manfaat sudah dirasakan tetapi resiko yang banyak muncul sebagai issu masyarakat masih merupakan dugaan dan belum ada bukti. Kelak jika resiko ini terbukti, para pakar yang kompeten di bidang ini perlu menginformasikannya kepada masyarakat sehingga masyarakat mendapatkan kebenaran yang hakiki.
Bioetika dalam pengembangan tanaman transgenik sangat diperlukan agar itikad baik ilmuwan terkait selalu terjaga untuk selalu mengarah kepada kemaslahatan bagi masyarakat banyak dan bukan sebaliknya.

Daftar Pustaka
Aisyah, dkk. 2003. Potensi Bioteknologi: Dilema Tanaman Transgenik. Makalah Pengantar Falsafah Sains, 29 April 2003. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB.

Rifai, A.M. 2002. Bioetika dan Kode Etika Biologiwan. Dalam Diskusi Panel Bioetika : Bagian Keseharian Ilmuwan. Dewan Riset Nasional, d.a. Kementrian Riset dan Teknologi, Jakarta & Herbarium Bogoriense Puslit Biologi – LIPI. Bogor

Siatoepoe, Mangku. 2001. Dampak penggunaan Rekayasa Genetika Telaah Menjadi Kenyataan. (http://www. Pikiran Rakyat, com/ cetak/ 0902/ 030801 htm., diakses tanggal 29 Agustus 2004).

Sukara, E. 2002. Pentingnya Bioetika Sebagai Kendali dan Arah Bagi Kemajuan Biosains : Beberapa Studi Kasus Yang Harus Dicermati. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

Suriasumantri, J.S. 1988. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Tanpa nama. 2000. Bioteknologi Pertanian: Peluang ataukah Petaka?. (http://www.kompas.com, diakses 21 November 2004).

Umar, Syukur., dkk. 2002. Tanaman Transgenik dan Persepsi Masyarakat. Makalah Pengantar Falsafah Sains, April 2002. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB.

Zohrah. 2001. Bioteknologi dan Biosefti. Dalam Rampak Serantau. Sariyan, A (Ed.). Pusat Fotostat. Hulu Kelang. Brunei Darussalam.

EFEK AMFETAMIN TERHADAP SPERMATOGENESIS MENCIT (Mus musculus) GALUR A/J

EFEK AMFETAMIN TERHADAP SPERMATOGENESIS
MENCIT (Mus musculus) GALUR A/J

Fitriyah Andriawati*)

Pembimbing (I) Dra. Umie Lestari, M. Si; (II) Dra. Titi Judani, M. Kes

Kata kunci: amfetamin, spermatogenesis, mencit
Abstrak
Amfetamin dengan dosis 5,6 mg/kg bb; 4,9 mg/kg bb; 4,2 mg/kg bb dan 0 mg/kg bb disuntikkan secara sub kutan pada bagian tengkuk mencit (Mus musculus) galur A/J, setiap dua hari sekali selama 36 hari. Pembuatan suspensi spermatozoa dilakukan dengan mencacah epididimis dalam larutan garam seimbang untuk mendapatkan data berupa jumlah spermatozoa dan persentase spermatozoa abnormal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis amfetamin yang yang dipergunakan pada penelitian ini tidak berpengaruh terhadap jumlah spermatozoa. Tetapi dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dosis amfetamin yang dipergunakan berpengaruh terhadap peningkatan persentase spermatozoa abnormal.

Abstract
Amphetamine with dosage 5,6 mg/kg; 4,9 mg/kg; 4,2 mg/kg and 0 mg/kg were given sub-cutan injection on mice (Mus musculus) A/J strain, once ad two days as long as 36 days. Spermatozoa solution were get by chop to pieces epididymis on salt solution was done to get the number of spermatozoa and the percentage of spermatozoa abnormal. The result of these experiment showed that dosage of amphetamine that used in these experiment give no effect to the number of spermatozoa. But from these experiment showed that amphetamine treatment increase the percentage of spermatozoa abnormal.

Key words: amphetamine, spermatogenesis, mice

Pendahuluan
Psikotropika adalah kelompok obat-obatan yang dapat merangsang sistem saraf pusat dan mempengaruhi kondisi psikologis dari pemakainya serta dapat menimbulkan ketergantungan. Obat-obatan yang tergolong psikotropika diantaranya adalah amfetamin, ekstasi atau 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA), shabu-shabu, putau, yang mudah didapat secara ilegal dengan harga terjangkau oleh masyarakat luas, sehingga dimungkinkan terjadi penyalahgunaan pemakaian obat tersebut.
Pemakaian obat psikotropika dalam jangka waktu pendek seakan memberikan efek yang menguntungkan kepada pemakainya, misalnya peningkatan kewaspadaan, bertambahnya inisiatif, keyakinan diri, daya konsentrasi, peningkatan aktifitas motorik (Tanu, 1995) dan juga euforia (Kee, 1996). Penggunaan obat dalam jangka panjang dapat mengakibatkan sindroma psikologi dan fisik, insomnia, hipertensi, palpitasi jantung, anoreksia (Kee, 1996), tremor dan paling fatal pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan kematian. Selain itu juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fertilitas (Speroff, 1994 dalam Hayati, 1999).
Penggunaan amfetamin dapat merangsang sistem saraf pusat (SSP), secara sentral dapat menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme dopamin (Katzung, 1996 dalam Hayati, 1999), yang menimbulkan inhibitor sekresi gonadotropin yaitu FSH dan LH. Pada hewan jantan, jaringan target dari FSH dan LH adalah testis terutama sel Leydig dan sel Sertoli. Akibat peranan LH, sel Leydig mampu memproduksi testosteron yang berpengaruh terhadap spermatogenesis. Apabila ada gangguan terhadap sekresi testosteron maka akan terjadi gangguan terhadap spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus.
Penelitian terdahulu tentang efek amfetamin terhadap spermatogenesis tikus menunjukkan bahwa secara histologi, jumlah dan ukuran sel-sel spermatogenik menurun dibandingkan yang normal (Hayati, 1999). Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diteliti tentang efek amfetamin terhadap spermtogenesis dengan indikator yang lain, yaitu jumlah spermatozoa dan peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal mencit ( Mus musculus) galur A/J.
Penelitian mengenai efek amfetamin terhadap spermatogenesis mencit (Mus musculus) galur A/J bertujuan untuk: mengetahui pengaruh amfetamin terhadap jumlah spermatozoa mencit (Mus musculus) galur A/J, mengetahui pengaruh amfetamin terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal mencit (Mus musculus) galur A/J.
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh amfetamin terhadap spermatogenesis mencit (Mus musculus) galur A/J. Rancangan penelitian yang digunakan untuk pengelompokkan dan pemberian perlakuan terhadap hewan uji adalah RAK (Steel & Torrie, 1981).
Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan pemeliharaan anakan. Setelah dewasa dipilih mencit yang berumur 10-12 minggu dengan berat badan 19-23 gram, sebanyak 24 ekor. Setiap anakan dipelihara dalam kandang berupa mika plastik berukuran 29 cm X 11 cm X 12 cm, tutup kandang terbuat dari besi. Untuk pemeliharaan, kandang diberi sekam dan ditempatkan dalam ruangan bersuhu ± 26,50 C, tiap anakan diberi makan pelet susu A dan air minum (air ledeng) secara ad libitum. Penimbangan berat badan dengan menggunakan timbangan meja O HAUSS dilakukan setiap dua hari sekali.
Dosis amfetamin yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan dosis efektif dalam penelitian Hayati (2001), yaitu 4 mg/kg bb. Selanjutnya dilakukan konversi dosis untuk mencit berdasarkan tabel konversi dari Tekhnik Farmakodinami dan Keamanan Obat (Anonimusa, 1986) dengan faktor konversi sebesar 0,14. Dosis amfetamin yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 5,6 mg/kg bb; 4,9 mg/kg bb; 4,2 mg/kg bb; 0 mg/kg bb. Hewan coba dikelompokkan dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok diberi amfetamin dengan dosis 0 mg/kg bb, 4,2 mg/kg bb, 4,9 mg/kg bb, dan 5,6 mg/kg bb selama 36 hari dengan waktu pemberian dua hari sekali. Larutan amfetamin diberikan dengan menggunakan syringe 1 ml sebanyak 0,5 ml yang disuntikkan di bagian tengkuk secara sub kutan.
Selanjutnya mencit dibunuh dengan cara dislokasi leher, dengan menggunakan alat bedah epididimis kauda diambil kemudian dimasukkan ke dalam cairan fisiologis NaCl 0,9% dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Selanjutnya epididimis kauda dicacah dengan menggunakan silet di dalam larutan HBSS (Freshny, 1987) sebanyak 10 ml sampai terbentuk suspensi (Syamrizal, 1995). Diambil 1 ml suspensi dan diencerkan sampai mencapai volume 10 ml, kemudian diambil dari suspensi hasil pengenceran sampai skala 0,5 dengan menggunakan pipet hemositometer Improved Neubauer untuk sel darah merah dan meneteskan pada kaca benda Improved Neubauer kemudian diamati dan dihitung.
Pengamatan dan penghitungan dilakukan dengan mikroskop cahaya perbesaran 10 x 40. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan hand counter, dan diulangi sebanyak tiga kali untuk masing-masing suspensi spermatozoa dari setiap epididimis kauda. Cara penghitungan jumlah spermatozoa berdasarkan prosedur WHO (1998) dalam Syamrizal (1995). Dalam pengamatan morfologi spermatozoa diambil suspensi spermatozoa hasil pengenceran kemudian diwarnai terlebih dahulu dengan Eosin-Nigrosin (modifikasi cara Bloom dalam WHO, 1988 dalam Syamrizal, 1995. Cara penghitungan jumlah spermatozoa dilakukan dengan menghitung jumlah spermatozoa secara keseluruhan termasuk juga menghitung jumlah spermatozoa abnormal.
Analisis Data Penelitian
Data yang meliputi jumlah spermatozoa, berat epididimis dan persentase spermatozoa yang abnormal diuji dengan Analisis Varians (ANAVA) satu jalur dan apabila dari hasil perhitungan menunjukkan hasil yang signifikan, maka selanjutnya digunakan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) (Zar, 1984).
Hasil Penelitian
Hasil penelitian tentang Efek Amfetamin Terhadap Spermatogenesis Mencit (Mus musculus A/J) meliputi jumlah spermatozoa, berat epididimis dan persentase spermatozoa abnormal, akan dibahas berikut ini.
1. Jumlah Spermatozoa
Hasil rerata perhitungan jumlah spermatozoa disajikan dalam tabel 4.1 berikut:
Tabel 4.1. Rerata Perhitungan Jumlah Spermatozoa
Dosis ( mg/kg bb) Jumlah Spermatozoa ( juta/ml)
0 9.6389
4.2 9.3
4.9 9.1056
5.6 10.35003
Setelah dianalisis dengan ANAVA diperoleh nilai F hitung < F tabel 0.05 yang berarti bahwa tidak ada pengaruh pemberian amfetamin dalam berbagai dosis terhadap jumlah spermatozoa mencit.
2. Berat Epididimis
Hasil rerata perhitungan berat epididimis disajikan pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Rerata Perhitungan Berat Epididimis
Dosis ( mg/kg bb) Berat Epididimis (gram)
0 0.014333
4.2 0.014725
4.9 0.015475
5.6 0.015117
Setelah dianalisis dengan ANAVA diperoleh nilai F hitung < F tabel0,05 yang berarti bahwa tidak ada pengaruh pemberian amfetamin dalam berbagai dosis terhadap berat epididimis mencit.
3. Persentase Spermatozoa Abnormal
Data tentang persentase spermatozoa abnormal diperoleh berdasarkan metode perhitungan sperma yang ditetapkan oleh WHO (1998) dalam Syamrizal (1995). Berikut ini adalah rerata persentase spermatozoa abnormal yang disajikan dalam tabel 4.3.
Tabel 4.3. Rerata Persentase Spermatozoa Abnormal
Dosis ( mg/kg bb) Spermatozoa Abnormal (%)
0
81.7165a
4.2 90.66633b
4.9 93.539b
5.6 96.034b
Berdasarkan hasil analisis varians terhadap persentase jumlah spermatozoa abnormal menunjukkan bahwa F hitung > F tabel0.05 berarti ada pengaruh pemberian amfetamin terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal. Dengan demikian dapat dilakukan uji lanjut BNT untuk mengetahui kelompok perlakuan manakah yang mulai memberikan pengaruh terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal.
Dari hasil uji lanjut BNT diketahui bahwa pada dosis amfetamin 4,2 mg/kg bb telah memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal bila dibandingkan dengan kontrol. Begitupun dengan dosis-dosis yang lainnya juga menunjukkan pengaruh yang nyata. Namun dari hasil uji BNT juga diketahui bahwa tidak ada perbedaan pengaruh besarnya dosis amfetamin yang diberikan terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal. Hal ini ditunjukkan dengan notasi BNT yang sama baik pada mencit yang disuntik dengan amfetamin dosis 4,2 mg/kg bb; 4,9 mg/kg bb maupun dosis 5,6 mg/kg bb.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa dengan pemberian amfetamin dalam berbagai dosis ternyata tidak berpengaruh terhadap jumlah spermatozoa. Jumlah spermatozoa yang dihasilkan oleh mencit yang disuntik dengan amfetamin tidak berbeda nyata dengan jumlah spermatozoa yang dihasilkan oleh mencit dari kelompok kontrol. Namun demikian pemberian amfetamin dalam berbagai dosis ternyata dapat meningkatkan persentase jumlah spermatozoa abnormal.
Amfetamin diketahui memiliki kemiripan struktur dengan dopamin yaitu pada gugus amina dan pada C-β (Tanu, 1995). Dopamin merupakan senyawa peptida yang dihasilkan oleh neuron-neuron TIDA yang terletak di nukleus arkuata dan berfungsi mengatur sekresi GnRH yang juga dihasilkan di hipotalamus (Lestari, 2002). Dengan kemiripan tersebut amfetamin dapat berasosiasi dengan GnRH sehingga berakibat pada menurunnya konsentrasi GnRH bebas dan berakibat pula pada menurunnya konsentrasi FSH dan LH (Handly, 2002). Seperti diketahui bahwa LH berpengaruh terhadap sel Leydig dalam memproduksi testosteron, sedangkan testosteron sendiri berperan dalam spermatogenesis.
Dari hasil penelitian diperoleh jumlah spermatozoa tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol hal ini diperkuat oleh data tentang berat epididimis kelompok perlakuan yang tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Ini dimungkinkan penurunan konsentrasi FSH yang terjadi sebagai akibat tidak langsung dari amfetamin kurang berpengaruh terhadap proliferasi spermatogonia yang terjadi pada awal spermatogenesis. Seperti diketahui FSH berpengaruh terhadap proliferasi spermatogonia (Zhang, 2003), demikian pula berfungsi untuk pertumbuhan sel germinatif (Gofur, 2002). Dengan demikian dimungkinkan amfetamin yang diberikan dengan berbagai dosis tidak sampai mengganggu aktivitas FSH pada tahap inisiasi spermatogenesis, ditunjukkan dengan jumlah spermatozoa yang tidak berbeda dengan kontrol.
Peningkatan prosentase spermatozoa abnormal yang diperoleh dari penelitian ini mungkin disebabkan karena penurunan konsentrasi FSH mengganggu kelangsungan meiosis yang dialami oleh spermatosit primer. Seperti diketahui FSH berpengaruh terhadap pembelahan meiosis (Zhang, 2003). Pada pembelahan meiosis ini, yaitu pada stadia pakiten profase I, dimana pada stadia ini berlangsung proses pindah silang (“Crossing over”) yang rentan terhadap faktor luar. Menurut Johnson & Everitt (1988) spermatosit primer pada stadia ini mudah sekali mengalami kerusakan, sehingga peluang terjadinya abnormalitas pada susunan kromosom spermatosit primer karena pengaruh faktor hormonal seperti penurunan FSH sangat besar sekali.
Selain itu, juga dimungkinkan karena penurunan konsentarsi LH berpengaruh terhadap sel Leydig sehingga produksi testosteron menurun. Mekanisme penurunan testosteron disebabkan terganggunya aktivitas adenil siklase karena kecilnya konsentrasi LH. Gangguan ini mengakibatkan cAMP menurun dan diikuti menurunnya fosforilasi protein intraseluler, sehingga perubahan pregnenolone menjadi testoteron terganggu dan berakibat menurunnya testosteron. Seperti diketahui testosteron sangat diperlukan selama tahap transformasi/spermiogenesis (Zhang, 2003). Kalau testosteron itu menurun mengakibatkan spermiogenesis terganggu sehingga akan menghasilkan morfologi spermatozoa yang kurang normal.
Di samping itu testosteron juga berpengaruh terhadap maturasi spermatozoa di epididimis (Handayani, 2001). Jika terjadi penurunan testosteron maka sel epididimis akan mengalami regresi fungsi dan struktur. Regresi fungsi yang terjadi pada sel epididimis dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas sekunder pada spermatozoa, hal ini terjadi karena gangguan terhadap sekresi yang dihasilkan oleh sel epididimis yang dibutuhkan untuk perubahan morfologi akrosom (Johnson & Everitt, 1988). Gangguan pada maturasi spermatozoa mengakibatkan abnormalitas spermatozoa.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis adalah sebagai berikut:Tidak ada pengaruh amfetamin terhadap jumlah spermatozoa yang dihasilkan pada mencit (Mus musculus) galur A/J, Amfetamin berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal pada mencit (Mus musculus) A/J.
Saran-saran yang dapat dikemukakan oleh penulis bagi semua pengguna hasil penelitian ini dan yang sejenisnya adalah: Perlu dilakukan penelitian yang sejenis terhadap mamalia yang lebih tinggi tingkatannya untuk mengetahui apakah amfetamin yang diberikan juga dapat menimbulkan pengaruh yang sama,Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang kadar FSH dan LH dalam darah akibat amfetamin.
Daftar Rujukan
Albert, M. dan Roussel, C. 1983. Change From Puberty to Adulthoodin The Concentration, Motility and Morphology of Mouse Epididymal Spermatozoa. International Journal of Andrology, 6 (1983): 446-460. [Full text].

Anonimusa, 1986. Tekhnik Farmakodinami dan Keamanan Obat. Bandung: ITB.

Anonimusb, 1991. Facts about Amphetamines. (http:// www.arf.org/isd/pim/amph. html). [Full text].

Anonimusc, 1999. Jenis dan Efek. (http://www.Anti.or). [Full text].

Behre, Herman M. & Bergmann, Martin. 2003. Primary Testicular Failure. (http://www.endotext.com, diakses 9-09-2004). [Full Text].

Freshny, R. I. 1987. Culture of Animal Cells, A Manual of Basic Technique, 2nd ed. New York: Alan R. Liss, Inc.

Gardner, Eldon John. 1991. Principles of Genetics. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Gofur, Abdul. 2002. Spermatogenesis. Malang: Biologi_UM.

Handayani, Nursasi. 2001. Fisiologi Reproduksi: Fungsi Testis dan Fertilisasi. Malang: Biologi_UM.

Handly, N. 2002. Toxicity Amphetamine. (http://www.emedicine.com.). [Full text].

Hardjopranoto, S. 1995. Ilmu kemajiran Pada Ternak. Surabaya: AUP.

Hayati, A. 2001. Efek Amfetamin Terhadap Ultrastruktur Sel Spermatogenik Tikus. Seminar PBI Cabang Jatim.

Johnson, Martin & Everitt, Barry. 1988. Essential Reproduction. London: Blackwell Scientific Publications.

Kee, Joyce L. & Hayes, Evelyn R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lestari, Umie. 2002. Fisiologi Reproduksi I. Malang: IMSTEP_JICA Biologi UM.

Nalbandov, A. V. 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan Unggas. Jakarta: UI Press.

Roberts, Debra. 1996. Designer Drugs. (http://www.camh.net) [Full text].

Rugh, R. 1968. The Mouse: Its Reproduction & Development. USA: Burgess Publishing. Co.

Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1981. Principles and Procedures of Statistics, a Biometrical Approach. Singapore: Mc. Graw Hill book. Co.

Suryo. 1995. Sitogenetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Syamrizal. 1995. Pengaruh Asam Metoksilat Terhadap Organ Reproduksi dan Fertilitas Mencit Albino Swiss Webster Jantan. Skripsi tidak diterbitkan, Bandung: ITB.

Tanu, Ian. 1987. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru, Bagian FK UI.

Toelihere, M. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: ITB.

Yatim, Wildan. 1982. Reproduksi dan Embriologi. Bandung: Penerbit Tarsito.

Zaar, H. J. 1984. Biostastical Analysis. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Zhang, Fu-Ping; Pakarainen, Tomi; Poutanen, Matti; Toppari, Jorma; & Huhtaniemi, Ilpo. 2003. The Low Gonadotropin-Independent Constitutive Production of Testicular Testosterone is Sufficient to Maintain Spermatogenesis. PNAS. November 11, 2003. Vol. 100. No. 23. 13692-13697. (http://www.pnas.org/cgi/content/full/100/2313692, diakses 19-09-2004). [Full text].

Rabu, 12 Agustus 2009

Severe Acute Respiratory Syndrome

Sindrom Pernapasan Akut Berat (bahasa Inggris: Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) adalah sebuah jenis penyakit pneumonia. SARS pertama kali muncul pada November 2002 di Provinsi Guangdong, Tiongkok. SARS sekarang dipercayai disebabkan oleh virus SARS. Sekitar 10% dari penderita SARS meninggal dunia.

Setelah Tiongkok membungkam berita wabah SARS baik internal maupun internasional, SARS menyebar sangat cepat, mencapai negeri tetangga Hong Kong dan Vietnam pada akhir Februari 2003, kemudian ke negara lain via wisatawan internasional. Kasus terakhir dari epidemi ini terjadi pada Juni 2003. Dalam wabah itu, 8.069 kasus muncul yang menewaskan 775 orang.

Gejala

Mula-mula gejalanya mirip seperti flu dan bisa mencakup: demam, myalgia, lethargy, gejala gastrointestinal, batuk, radang tenggorokan dan gejala non-spesifik lainnya. Satu-satunya gejala yang sering dialami seluruh pasien adalah demam di atas 38 °C (100.4 °F). Sesak napas bisa terjadi kemudian.

Gejala tersebut biasanya muncul 2–10 hari setelah terekspos, tetapi sampai 13 hari juga pernah dilaporkan terjadi. Pada kebanyakan kasus gejala biasanya muncul antara 2–3 hari. Sekitar 10–20% kasus membutuhkan ventilasi mekanis.

Tanda fisik

Awalnya tanda jasmani tidak begitu kelihatan dan mungkin tidak ada. Beberapa pasien akan mengalami tachypnea dan crackle pada auscultation. Kemudian, tachypnea dan lethargy kelihatan jelas.

Investigasi

Kemunculan SARS pada Sinar X di dada (CXR) bermacam-macam bentuknya. Kemunculan patognomonic SARS tidak kelihatan tetapi biasanya dapat dirasakan dengan munculnya lubang di beberapa bagian di paru-paru. Hasil CXR awalnya mungkin lebih kelihatan.

Jumlah Sel darah putih dan platelet cenderung rendah. Laporan awal mengindikasikan jumlah neutrophilia dan lymphopenia yang cenderung relatif — disebut demikian karena angka total sel darah putih cenderung rendah. Hasil laboaratorium lainnya seperti naiknya kadar lactate dehydrogenase, creatinine kinase dan C-Reactive protein.

Tes Diagnosis

Proses indentifikasi dan sequencing' DNA coronavirus pada 12 April 2003 berhasil memproduksi beberapa alat tes diagnosis yang sekarang sedang diuji untuk kelayakan pakai.

Tiga kemungkinan tes diagnosis telah tersedia, masing-masing dengan kelemahannya. Yang pertama, sebuah tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) mendeteksi antibodi SARS dengan baik namun hanya dapat dilakaukan setelah 21 hari dari kemunculan gejala. Yang kedua berupa immunofluorescence assay yang dapat mendeteksi antibodi 10 hari setelah kemunculan gejala namun memakan waktu dan tenaga karena membutuhkan mikroskop immunofluorescence dan operator yang pengalaman. Yang terakhir adalah tes PCR (polymerase chain reaction) yang bisa mendeteksi materi genetik virus SARS di darah, sputum, sampel tisu dan stool. Tes PCR hingga kini sangat spesifik namun sangat tidak sensitif. Artinya sebuah tes positif PCR sangat mengindikasikan si pasien terinfeksi SARS; hasil negatif tidak berarti si pasien tidak mengidap SARS.

WHO telah mempublikasikan petunjuk menggunakan tes diagnosis tersebut.

Hingga kini belum ada tes pemeriksaan SARS yang cepat dan penelitian masih berjalan.

Diagnosis

Sebuah kasus SARS yang mencurigakan adalah seorang pasien yang mengalami:
salah satu dari gejala-gejala termasuk demam dengan suhu 38°C atau lebih DAN
pernah mengalami
kontak dengan seseorang yang didiagnosis mengidap SARS pada kurun waktu 10 hari terakhir ATAU
mengunjungi salah satu dari daerah yang teridentifikasi oleh WHO sebagai area dengan transmisi lokal SARS (daerah itu pada

10 Mei 2003 adalah sebagian kawasan Tiongkok, Hong Kong, Singapura dan provinsi Ontario, Kanada).

Sebuah kasus kemungkinan SARS mempunyai gejala-gejala di atas berikut hasil sinar-X pada dada yang positif menderita atypical pneumonia atau sindrom pernapasan panik.

Dengan kemajuan tes diagnosis coronavirus yang menyebabkan SARS, WHO telah menambah kategori "SARS menurut hasil laboratorium" untuk pasien yang sebenarnya masuk kategori "kemungkinan" namun belum/tidak mengalami perubahan pada sinar x di dada tetapi hasil diagnosis laboratorium positif menderita SARS menurut salah satu dari tes yang diperbolehkan (ELISA, immunofluorescence atau PCR).

Tingkat Kematian

Tingkat kematian bervariasi di setiap negara dan organisasi peliput. Pada awal Mei, supaya konsisten dengan metrik yang sama pada penyakit lain, WHO dan CDC AS mengutip 7%, atau jumlah kematian dibagi dengan kasus kemungkinan, sebagai tingkat kematian SARS. Yang lainnya lebih setuju dengan figur 15% yang didapat dari jumlah kematian dibagi dengan jumlah yang telah sembuh atau meninggal, dengan alasan lebih mencerminkan situasi sebenarnya secara akurat. Tatkala wabah berlanjut tingkat kematian mancapai 10%.

Salah satu alasan mengapa mengukur jumlah kematian sulit ialah angka infeksi dan angka kematian meningkat pada kadar yang sama sekali berbeda. Sebuah kemungkinan penjelasan mencakup infeksi sekunder sebagai agen penyebab penyakit (Lihat analisa Eric Lerner), tetapi apapun penyebabnya, angka kematian sudah pasti akan berubah.

Kematian berdasarkan grup usia terhitung 8 Mei 2003 adalah di bawah 1% untuk orang usia 24 atau lebih muda, 6% untuk mereka yang berusia 25-44, 15% pada usia 45-64 dan lebih dari 50% untuk yang berusia lebih dari 65.

Sebagai perbandingan, kasus tingkat kematian influenza biasanya sekitar 0.6% (terutama pada lansia) tetapi dapat naik hingga 33% pada epidemi lokal yang parah dari mutasi baru. Tingkat kematian jenis pneumonia menular dasar sekitar 70%.

Pengobatan

Antibiotik masih belum efektif. Pengobatan SARS hingga kini masih bergantung pada anti-pyretic, supplemen oksigen dan bantuan ventilasi.

Kasus SARS yang mencurigakan harus diisolasi, lebih baiknya di ruangan tekanan negatif, dengan kostum pengaman lengkap untuk segala kontak apapun dengan pasien.

Awalnya ada dukungan anekdotal untuk penggunaan steroid dan antiviral drug ribavirin, namun tidak ada bukti yang mendukung terapi ini. Sekarang banyak juru klinik yang mencurigai ribavirin tidak baik bagi kesehatan.

Ilmuwan kini sedang mencoba segala obat antiviral untuk penyakit lain seperti AIDS, hepatitis, influenza dan lainnya pada coronavirus.

Ada keuntungan dari penggunaan steroid dan immune system modulating agent lainnya pada pengobatan pasien SARS yang parah karena beberapa bukti menunjukkan sebagian dari kerusakan serius yang disebabkan SARS disebabkan oleh reaksi yang berlebihan oleh sistem kekebalan tubuh terhadap virus. Penelitian masih berlanjut pada area ini.

Pada Desember 2004, laporan menyebutkan para peneliti Tiongkok telah menemukan sebuah vaksin SARS yang telah diujicoba pada 36 sukarelawan, 24 diantaranya menghasilkan antibodi virus SARS.

Human immunodeficiency virus


Kelompok: Kelompok VI (ssRNA-RT)
Familia: Retroviridae
Genus: Lentivirus
Spesies: Human immunodeficiency virus 1
Spesies: Human immunodeficiency virus 2

HIV (human immunodeficiency virus) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia - terutama CD4+ Sel T dan macrophage, komponen vital dari sistem sistem kekebalan tubuh "tuan rumah" - dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka. Infeksi dari HIV menyebabkan pengurangan cepat dari sistem kekebalan tubuh, yang menyebabkan kekurangan imun. HIV merupakan penyebab dasar AIDS.

Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 (Coffin et al., 1986) sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated virus) (Barre-Sinoussi et al., 1983) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III) (Popovic et al., 1984).
The phylogenetic tree of the SIV and HIV viruses.

HIV adalah anggota dari genus lentivirus, bagian dari keluarga retroviridae yang ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dari sel-host awal yang mengelilingi sebuah pusat protein/RNA. Dua spesies HIV menginfeksi manusia: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah yang lebih "virulent" dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia; HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat (Reeves and Doms, 2002). Kedua spesies berawal di Afrika barat dan tengah, melompat dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis.

HIV-1 telah berevolusi dari sebuah simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan troglodyte troglodyte (Gao et al., 1999).HIV-2 melompat spesies dari sebuah strain SIV yang berbeda, ditemukan dalam sooty mangabeys, monyet dunia lama Guinea-Bissau (Reeves and Doms, 2002).

HIV-1 memiliki 3 kelompok atau grup yang telah berhasil diidentifikasi berdasarkan perbedaan pada envelope-nya yaitu M, N, dan O (Thomson dkk, 2002). Kelompok M yang paling besar prevalensinya dan dibagi kedalam 8 subtipe berdasarkan seluruh genomnya, yang masing-masing berbeda secara geografis (Carr dkk, 1998). Subtipe yang paling besar prevalensinya adalah subtipe B (banyak ditemukan di Afrika dan Asia), subtipe A dan D (banyak ditemukan di Afrika), dan C (banyak ditemukan di Afrika dan Asia); subtipe-subtipe ini merupakan bagian dari kelompok M dari HIV-1. Ko-infeksi dengan subtipe yang berrbeda meningkatkan sirkulasi bentuk rekombinan (CRFs)

HIV menular melalui hubungan kelamin dan hubungan seks oral, atau melalui anus, transfusi darah, penggunaan bersama jarum terkontaminasi melalui injeksi obat dan dalam perawatan kesehatan, dan antara ibu dan bayinya selama masa hamil, kelahiran dan masa menyusui. UNAIDS transmission. Penggunaan pelindung fisik seperti kondom latex dianjurkan untuk mengurangi penularan HIV melalui seks. Belakangan ini, diusulkan bahwa penyunatan dapat mengurangi risiko penyebaran virus HIV, tetapi banyak ahli percaya bahwa hal ini masih terlalu awal untuk merekomendasikan penyunatan lelaki dalam rangka mencegah HIV.

Pada akhir tahun 2004 diperkirakan antara 36 hingga 44 juta orang yang hidup dengan HIV, 25 juta di antaranya adalah penduduk sub-Sahara Afrika. Perkiraan jumlah orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia pada tahun 2004 adalah antara 4,3 juta hingga 6,4 juta orang. (AIDS epidemic update December 2004).

Wabah ini tidak merata di wilayah-wilayan tertentu karena ada negara-negara yang lebih menderita daripada yang lainnya. Bahkan pada tingkatan negara pun ada perbedaan tingkatan infeksinya pada daerah-daerah yang berlainan. Jumlah orang yang hidup dengan HIV terus meningkat di semua bagian dunia, meskipun telah dilakukan berbagai langkah pencegahan yang ketat.

Sub-Sahara Afrika tetap merupakan daerah yang paling parah terkena HIV di antara kaum perempuan hamil pada usia 15-24 tahun di sejumlah negara di sana. Ini diduga disebabkan oleh banyaknya penyakit kelamin, praktek menoreh tubuh, transfusi darah, dan buruknya tingkat kesehatan dan gizi di sana (Bentwich et al., 1995). Pada tahun 2000, WHO memperkirakan bahwa 25% unit darah yang ditransfusikan di Afrika tidak dites untuk HIV, dan bahwa 10% infeksi HIV di benua itu terjadi lewat darah.

Di Asia, wabah HIV terutama disebabkan oleh para pengguna obat bius lewat jarum suntik, hubungan seks baik antarpria maupun dengan pekerja seks komersial, dan pelanggannya, serta pasangan seks mereka. Pencegahannya masih kurang memadai.

HIV berbeda dalam struktur dengan retrovirus yang dijelaskan sebelumnya. Besarnya sekitar 120 nm dalam diameter (seper 120 milyar meter, kira-kira 60 kali lebih kecil dari sel darah merah) dan kasarnya "spherical"