Rabu, 02 September 2009

EFEK AMFETAMIN TERHADAP SPERMATOGENESIS MENCIT ( Mus musculus ) GALUR A/J

ABSTRAK


Andriawati, Fitriyah. 2005. Efek Amfetamin Terhadap Spermatogenesis Mencit (Mus musculus ) Galur A/J. Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang, Program Sarjana Biologi. Pembimbing:
(I) Dra. Umie Lestari, M. Si., (II) Dra. Titi Judani, M. Kes.


Kata kunci: amfetamin, spermatogenesis, mencit.


Amfetamin sebagai salah satu obat psikotropika, memiliki kemiripan struktur dengan dopamin. Pemberian amfetamin dapat meningkatkan metabolisme dopamin dalam tubuh yang berakibat pada menurunnya sekresi GnRH oleh hipotalamus. Penurunan konsentrasi GnRH lebih lanjut akan menyebabkan penurunan konsentrasi FSH, LH dan testosteron (Hayati, 2001). Penelitian terdahulu tentang pengaruh amfetamin terhadap spermatogenesis pada tikus menunjukkan bahwa ada pengaruh amfetamin terhadap penurunan sel-sel spermatogenik (Hayati, 1999). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh amfetamin terhadap spermatogenesis mencit, yang ditinjau dari jumlah spermatozoa dan peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal. Sebanyak 24 ekor mencit jantan dikelompokkan dalam empat kelompok dan masing-masing disuntik dengan larutan amfetamin dosis 5,6 mg/kg bb; 4,9 mg/kg bb; 4,2 mg/kg bb dan 0 mg/kg bb, secara sub kutan di bagian tengkuk, setiap dua hari sekali selama 36 hari. Pengamatan dan penghitungan spermatozoa dilakukan pada suspensi spermatozoa yang diteteskan di atas kaca benda Improved Neubauer dan diwarnai dengan Eosin-Nigrosin untuk mendapatkan data jumlah spermatozoa dan persentase spermatozoa abnormal. Hasil analisis varian (ANAVA) dan uji lanjut BNT menunjukkan dosis amfetamin yang dipergunakan dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap jumlah spermatozoa, hal ini didukung pula oleh berat epididimis pada kelompok mencit perlakuan ternyata juga tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok kontrol. Namun amfetamin dengan dosis yang dipergunakan dalam penelitian ini berpengaruh terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal.



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Psikotropika adalah kelompok obat-obatan yang dapat merangsang sistem saraf pusat dan mempengaruhi kondisi psikologis dari pemakainya serta dapat menimbulkan ketergantungan. Obat-obatan yang tergolong psikotropika diantaranya adalah amfetamin, ekstasi atau 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA), shabu-shabu, putau, yang mudah didapat secara ilegal dengan harga terjangkau oleh masyarakat luas, sehingga dimungkinkan terjadi penyalahgunaan pemakaian obat tersebut.
Pemakaian obat psikotropika dalam jangka waktu pendek seakan memberikan efek yang menguntungkan kepada pemakainya, misalnya peningkatan kewaspadaan, bertambahnya inisiatif, keyakinan diri, daya konsentrasi, peningkatan aktifitas motorik (Tanu, 1995) dan juga euforia (Kee, 1996). Penggunaan obat dalam jangka panjang dapat mengakibatkan sindroma psikologi dan fisik, insomnia, hipertensi, palpitasi jantung, anoreksia (Kee, 1996), tremor dan paling fatal pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan kematian. Selain itu juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fertilitas (Speroff, 1994 dalam Hayati, 1999).
Penggunaan amfetamin dapat merangsang sistem saraf pusat (SSP), secara sentral dapat menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme dopamin (Katzung, 1996 dalam Hayati, 1999), yang menimbulkan inhibitor sekresi gonadotropin yaitu FSH dan LH. Pada hewan jantan, jaringan target dari FSH dan LH adalah testis terutama sel Leydig dan sel Sertoli. Akibat peranan LH, sel Leydig mampu memproduksi testosteron yang berpengaruh terhadap spermatogenesis. Apabila ada gangguan terhadap sekresi testosteron maka akan terjadi gangguan terhadap spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus.
Penelitian terdahulu tentang efek amfetamin terhadap spermatogenesis tikus menunjukkan bahwa secara histologi, jumlah dan ukuran sel-sel spermatogenik menurun dibandingkan yang normal (Hayati, 1999). Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diteliti tentang efek amfetamin terhadap spermtogenesis dengan indikator yang lain, yaitu jumlah spermatozoa dan peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal mencit ( Mus musculus) galur A/J.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang ingin diperoleh jawabannya dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. apakah amfetamin berpengaruh terhadap jumlah spermatozoa mencit (Mus musculus) galur A/J?
2. apakah amfetamin berpengaruh terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal mencit (Mus musculus) galur A/J?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengenai efek amfetamin terhadap spermatogenesis mencit (Mus musculus) galur A/J adalah untuk:
1. mengetahui pengaruh amfetamin terhadap jumlah spermatozoa mencit (Mus musculus) galur A/J.
2. mengetahui pengaruh amfetamin terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal mencit (Mus musculus) galur A/J.

D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diuji melalui penelitian adalah sebagai berikut:
1. ada pengaruh amfetamin terhadap jumlah spermatozoa mencit (Mus musculus) galur A/J.
2. ada pengaruh amfetamin terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal mencit (Mus musculus) galur A/J.

E. Manfaat Penelitian
Meskipun hewan uji yang digunakan dalam penelitian adalah mencit (Mus musculus) galur A/J, namun metabolismenya mirip dengan manusia, sehingga perlu diinformasikan kepada masyarakat tentang hasil penelitian ini. Kalau dari hasil penelitian didapatkan amfetamin berpengaruh terhadap spermatogenesis diharapkan masyarakat tahu tentang dampak negatif pemakaian amfetamin dan tidak menggunakannya tanpa seijin dokter.

F. Definisi Istilah
Jumlah spermatozoa yaitu jumlah spermatozoa yang diperoleh dari suspensi epididimis bagian kauda. Abnormalitas spermatozoa adalah morfologi spermatozoa yang tidak normal yang meliputi bagian kepala, leher dan ekor yang diambil dari epididimis bagian kauda (Albert dan Roussel, 1983).


BAB II
KAJIAN PUSTAKA



A. Amfetamin
Amfetamin tergolong salah satu psikotropika yang memiliki banyak molekul turunan. Contoh molekul yang sangat mirip dengan amfetamin yaitu: efedrin, pseudoefedrin, dan fenilalanin. Contoh dari amfetamin racikan diantaranya adalah: 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA) yang dikenal sebagai extacy; N- ethyl-3,4-methylenedioxyamphetamine (MDEA) juga dikenal sebagai methoxy-3,4-methylenedioxyamphetamine (MMDA) dan 2,5-dioxymthylamphetamine (DOM) juga dikenal sebagai STP (Anonimusc, 1999). Struktur amfetamin disajikan dalam gambar 1.

Gambar 2.1. Struktur molekul amfetamin ( Robert, 1996 ).
Pemakaian amfetamin dalam dosis rendah umumnya digunakan untuk pengobatan obesitas dan menurunkan depresi. Penggunaan amfetamin dalam dosis tinggi akan meningkatkan denyut jantung dan pernafasan, pengeluaran keringat secara berlebihan, tremor, dan memperlebar pupil mata. Efek psikologis yang ditimbulkan pada pemakaian amfetamin dengan dosis tinggi diantaranya adalah gangguan mental, perilaku kurang rasional dan salah persepsi terhadap stimulus (Anonimusb, 1991).
Amfetamin memiliki kemiripan struktur dengan dopamin yaitu pada gugus amina dan pada C-β (Tanu, 1995). Dalam kondisi normal dopamin berfungsi mengontrol sekresi GnRH bebas, yang selanjutnya berfungsi mengendalikan sekresi FSH dan LH (Lestari, 2002). Dengan kemiripan tersebut amfetamin dapat berasosiasi dengan GnRH sehingga berakibat pada menurunnya konsentrasi GnRH dan berakibat pula pada menurunnya sekresi FSH dan LH (Handly, 2002). Seperti diketahui FSH dan LH berpengaruh terhadap sekresi testosteron, sedangkan testosteron sendiri berperan dalam spermatogenesis. Maka dengan terganggunya sekresi FSH dan LH sebagai akibat dari aktivitas amfetamin, spermatogenesis terganggu pula.

Gambar 2.2. Perbandingan struktur molekul dopamin dan amfetamin (Tanu, 1995).


B. Sistem Reproduksi Mencit Jantan
Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas sepasang kelenjar kelamin (testis), saluran reproduksi dan kelenjar asesori serta organ kopulasi. Masing-masing organ tersebut berjumlah sepasang, kecuali uretra dan penis (Rugh, 1968:7). Menurut Nalbandov (1990) dan Behre (2003), testis merupakan suatu kelenjar endokrin, karena memproduksi testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig yang berpengaruh pada sifat-sifat jantan dan berperan dalam spermatogenesis.

Gambar 2.3. Sistem reproduksi mencit jantan (ventral) (Rugh, 1968:7).
Rugh (1968) menjelaskan bahwa di dalam testis mencit terdiri dari tubulus seminiferus dan jaringan stroma. Lapisan dalam epitel tubulus seminiferus terdapat sel germinatif dan sel sertoli, sedangkan pada jaringan stroma terdapat pembuluh darah, limfe, sel saraf, sel makrofag dan sel Leydig. Sel Leydig berfungsi menghasilkan hormon testosteron. Sekresi hormon oleh sel Leydig dikontrol oleh hormon gonadotropin. Bila sekresi hormon gonadotropin mengalami hambatan maka sekresi testosteron akan mengalami penurunan.
Rugh (1968) menjelaskan bahwa pada mencit jantan terdapat saluran reproduksi yang terdiri atas vas eferens, epididimis, vas deferens, duktus ejakulatorius dan uretra. Vas eferens merupakan saluran yang berkelok-kelok dan lumennya dibatasi oleh sekelompok sel epitel bersilia. Epididimis terdiri dari bagian kaput, korpus dan kauda. Epididimis berfungsi sebagai tempat maturasi sperma dan tempat penyimpanan sperma sementara. Menurut Nalbandov (1990) maturasi spermatozoa di tandai dengan menghilangnya protoplasmik droplet dari bagian kepala spermatozoa. Epididimis pada bagian kaput berfungsi untuk penyerapan cairan yang dikeluarkan oleh testis. Fungsi lain epididimis adalah memberikan sekresi cairan yang diproduksi oleh sel-sel epitelnya untuk membantu perubahan morfologi akrosom yaitu melalui kondensasi inti, pelepasan sitoplasma, peningkatan muatan negatif dan penambahan lapisan glikoprotein (Johnson & Everitt, 1988).
Spermatozoa yang berasal dari epididimis akan diteruskan menuju ke vas deferens. Lumen vas deferens tersusun atas sekelompok sel epitel kolumnar berlapis semu. Vas deferens dibungkus oleh lapisan otot longitudinal di bagian luar dan dalamnya, sedangkan lapisan otot sirkuler terletak diantara keduanya. Lanjutan vas deferens adalah duktus ejakulatorius. Duktus ejakulatorius memiliki otot-otot yang kuat dan berperan selama ejakulasi. Saluran ini akan bermuara pada uretra. Uretra tersusun atas sekelompok sel epitel transisional, jaringan ikat longgar, banyak terdapat pembuluh darah dan dibungkus lapisan otot lurik yang tebal (Rugh, 1968).
Kelenjar seks asesori terdiri atas vesikula seminalis, kelenjar koagulasi, ampula, bulbouretra dan kelenjar preputialis (Rugh, 1968). Fungsi kelenjar seks asesori secara umum adalah mengeluarkan sekret cairan berupa plasma semen yang berfungsi sebagai medium pelarut dan sebagai pengaktif sperma karena semen adalah substrat yang kaya akan natrium, kalium klorida, nitrogen, asam sitrat, asam askorbat, inositol, fruktosa, fosfatase dan sedikit vitamin (Nalbandov, 1990). Penis sebagai organ kopulasi berfungsi untuk menyalurkan spermatozoa ke dalam saluran reproduksi betina. Penis terdiri dari bagian-bagian: korpus kavernosum penis, korpus kavernosum uretra, preputialis.


C. Spermatogenesis
Spermatogenesis terjadi di dalam tubulus seminiferus. Spermatogenesis pada mencit memerlukan waktu 35,5 hari atau spermatogenesis akan selesai menempuh 4 kali daur epitel seminiferus. Lama satu kali daur epitel seminiferus pada mencit adalah 207 jam ± 6,2 jam (Oakberg, 1957 dalam Rugh, 1968). Menurut Hardjopranoto (1995), secara umum spermatogenesis dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap proliferasi, tahap pertumbuhan, tahap pematangan dan tahap transformasi/spermiogenesis.
Pada spermatogenesis, Follicle stimulating hormone (FSH) memiliki peranan yang penting, yaitu berperan dalam menstimulasi kejadian awal spermatogenesis diantaranya proliferasi spermatogonia (Zhang, 2003), peranan ini ditunjukkan dengan fungsi FSH untuk menstimulasi pertumbuhan sel germinatif dalam tubulus seminiferus (Gofur, 2002). Pada tahap proliferasi, spermatogonium mengalami pembelahan mitosis menjadi spermatogonia tipe A selama tiga mitosis pertama, kemudian menjadi spermatogosia tipe intermediet setelah pembelahan ke empat dan menjadi spermatogonia tipe B setelah pembelahan ke lima (Handayani, 2001). Selama tahap pertumbuhan spermatogonia mengalami pertambahan volume. Spermatogonia tipe B kemudian tumbuh membentuk spermatosit I (primer). Pada tahap pematangan, spermatosit primer akan mengalami pembelahan reduksional (meiosis).
Selama pembelahan meiosis, FSH sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pembelahan meiosis (Zhang, 2003). Pembelahan meiosis yang dialami oleh spermatosit primer dimulai dari meiosis I dilanjutkan ke meiosis II. Dari masing-masing fase pembelahan ini masih dibagi lagi ke dalam beberapa tahap, yaitu: profase, metafase, anafase dan telofase. Tahap profase I meiosis I merupakan tahap yang sangat panjang sehingga dikelompokkan lagi dalam lima stadia, yaitu: leptotene, zigotene, pakhitene, diplotene, dan diakinesis (Gardner, 1991). Menurut Suryo (1995) ciri dari masing-masing stadia sebagai berikut: (a) Lepototene memperlihatkan kromosom sebagai benang panjang, sehingga masing-masing kromosom belum dapat dikenal; (b)Zigotene memperlihatkan bahwa kromosom-kromosom homolog berpasangan; (c) Pakhitene merupakan stadia yang paling lama dari profase I meiosis, benang-benang kromosom tampak semakin jelas karena adanya kontraksi dari kromosom sehingga kromosom tampak semakin menebal. Pada stadia ini berlangsung proses biologis yang sangat penting yaitu pindah silang (“Crossing over”). Pada stadia ini spermatosit primer mudah mengalami kerusakan dan degenerasi yang sangat luas (Johnson & Everitt, 1988); (d) Diplotene ditandai dengan memisahnya kromatid-kromatid yang semula berpasangan membentuk bivalen; (e) Diakinesis yang merupakan stadia terakhir memperihatkan kromosom-kromosom makin memendek dan kiasmata semakin jelas. Dari meiosis I akan dihasilkan dua sel anak spermatosit sekunder, masing-masing berisi satu set kromosom tunggal.
Pada meiosis II, terjadi pembentukan spermatid yang berasal dari spermatosit sekunder. Pada meiosis II ini masing-masing kromosom yang berada pada daerah ekuatorial hanya terdiri dari dua kromatid yang bersatu di sentromernya. Sentromer kemudian akan terbelah dan masing-masing kromatid akan bergerak menuju ke kutub yang berlawanan. Hasil dua kali pembelahan, akan terbentuk empat sel anak (Gofur, 2002).
Pada tahap transformasi/spermiogenesis, spermatid mengalami serangkaian perubahan pada nukleus dan sitoplasma. Spermatid mengalami perubahan bentuk menjadi spermatozoa yang memiliki kepala, leher dan ekor. Handayani (2001) dan Gofur (2002) menjelaskan bahwa transformasi spermatid menjadi spermatozoa dibedakan menjadi empat fase, yaitu: (1) fase golgi, dimana pada fase ini aparatus golgi dari spermatid membentuk granula yang kaya glikoprotein yaitu granula akrosom; (2) fase tutup dicirikan dengan granula akrosom tumbuh dan menutupi permukaan inti membentuk suatu tutup, pada saat itu membran inti kehilangan pori-pori, kedua sentriol menuju ke tempat yang berlawanan pada membran inti dan flagelum tumbuh dari distal sentriol, dari proksimal sentriol dibentuk leher yang mengikatkan ekor ke inti; (3) fase akrosom memperlihatkan inti mulai memanjang dan sitoplasma berpindah tempat maju ke daerah flagelum yang sedang berkembang; (4) fase pematangan ditunjukkan dengan inti memanjang dan kromatin berkondensasi di bawah tudung akrosom, membentuk inti yang spesies spesifik dan kehilangan membran inti dan nukleoplasma, aparatus golgi selesai membentuk tudung akrosom dan mulai berubah bentuk. Selama tahap transformasi/spermiogenesis testosteron sangat diperlukan terutama untuk menjaga supaya spermiogenesis berlangsung dengan sempurna (Zhang, 2003). Sekresi testosteron oleh sel-sel Leydig merupakan akibat dari aktivitas LH. Dalam hal ini LH menstimulasi aktivitas adenil siklase sehingga meningkatkan cAMP intraseluler. Kenaikan cAMP menyebabkan terjadinya fosforilasi protein intraseluler oleh aktivasi protein kinase, yang akan mengubah pregnenolon menjadi testosteron (Handayani, 2001).
Menurut Rugh (1968), spermatozoa mencit terdiri dari bagian kepala, bagian tengah dan ekor. Kepala mempunyai kait dengan panjang kira-kira 0,008 mm, bagian tengah pendek dan ekor sangat panjang (rata-rata 0,1226 mm). Pada kepala terdapat akrosom yang mengandung enzim hyluronidase yang berfungsi pada saat fertilisasi. Di dalam kepala terdapat inti. Pada bagian tengah terdapat mitokondria, aparatus golgi dan dua sentriol. Ekor menyerupai bentukan flagelum dan digunakan untuk pergerakan terutama pada saat berada dalam alat kelamin betina. Morfologi spermatozoa digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.4. Spermatozoa mencit (Rugh, 1968)
Kemampuan bereproduksi dari hewan jantan dapat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan. Produksi semen yang tinggi dinyatakan dengan volume semen yang tinggi dan konsentrasi spermatozoa yang tinggi pula. Sedangkan kualitas semen yang baik dapat dilihat dari persentase spermatozoa yang normal dan motilitasnya (Hardjopranoto, 1995). Albert dan Roussel (1983) menyebutkan bahwa konsentrasi sperma pada epididimis dari mencit berumur 70 hari atau lebih, sebanyak ≥ 8,11 ± 2,7 juta/ml, dengan jumlah sperma normal ≥ 5,74 ± 8,9% dan jumlah sperma yang abnormal 6,6 ± 2,6%. Sperma abnormal akan menurunkan fertilitas jantan. Beberapa abnormalitas tertentu dari sperma diketahui ada yang bersifat genetik (Nalbandov, 1990).
Abnormalitas pada sperma dapat terjadi pada kepala, leher dan ekor. Toelihere (1985) mengklasifikasikan abnormalitas pada sperma dalam abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas primer terjadi karena gangguan spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus, sedangkan abnormalitas sekunder terjadi selama spermatozoa menyelesaikan maturasi di epididimis.
Yatim (1982) juga mengungkapkan bahwa abnormalitas sperma disebabkan faktor hormonal, nutrisi, obat, akibat radiasi, atau oleh penyakit. Kekurangan hormon, misalnya rendahnya kadar testosteron yang diproduksi sel Leydig dapat menghambat spermatogenesis dan dapat mengganggu maturasi sperma di dalam epididimis.


BAB III
METODE PENELITIAN


A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh amfetamin terhadap spermatogenesis mencit (Mus musculus) galur A/J. Rancangan penelitian yang digunakan untuk pengelompokkan dan pemberian perlakuan terhadap hewan uji adalah RAK (Steel & Torrie, 1981).

B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dimulai sejak bulan September 2003 sampai dengan bulan Februari 2004, bertempat di Laboratorium Biologi Ruang 307 Universitas Negeri Malang.

C. Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian adalah amfetamin dengan berbagai dosis. Sedangkan variabel terikatnya berupa jumlah spermatozoa dan spermatozoa abnormal.

D. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan adalah mencit jantan galur A/J yang diperoleh dari laboratorium Biologi UM. Sampel yang diambil adalah mencit jantan dewasa galur A/J umur 10-12 minggu dan berat badan 19-23 gram sebanyak 24 ekor.

E. Prosedur Kerja
Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan pemeliharaan anakan. Setelah dewasa dipilih mencit yang berumur 10-12 minggu dengan berat badan 19-23 gram, sebanyak 24 ekor. Setiap anakan dipelihara dalam kandang berupa mika plastik berukuran 29 cm X 11 cm X 12 cm, tutup kandang terbuat dari besi. Untuk pemeliharaan, kandang diberi sekam dan ditempatkan dalam ruangan bersuhu ± 26,50 C, tiap anakan diberi makan pelet susu A dan air minum (air ledeng) secara ad libitum. Penimbangan berat badan dengan menggunakan timbangan meja O HAUSS dlakukan setiap dua hari sekali.
Dosis amfetamin yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan dosis efektif dalam penelitian Hayati (2001), yaitu 4 mg/kg bb. Selanjutnya dilakukan konversi dosis untuk mencit berdasarkan tabel konversi dari Tekhnik Farmakodinami dan Keamanan Obat (Anonimusa, 1986) dengan faktor konversi sebesar 0,14. Dosis amfetamin yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 5,6 mg/kg bb; 4,9 mg/kg bb; 4,2 mg/kg bb; 0 mg/kg bb (untuk keterangan cara pengenceran dosis dapat dilihat pada lampiran 5).
Hewan coba dikelompokkan dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok diberi amfetamin dengan dosis 0 mg/kg bb, 4,2 mg/kg bb, 4,9 mg/kg bb, dan 5,6 mg/kg bb selama 36 hari dengan waktu pemberian dua hari sekali. Larutan amfetamin diberikan dengan menggunakan syringe 1 ml sebanyak 0,5 ml yang disuntikkan di bagian tengkuk secara sub kutan.
Selanjutnya mencit dibunuh dengan cara dislokasi leher, dengan menggunakan alat bedah epididimis kauda diambil kemudian dimasukkan ke dalam cairan fisiologis NaCl 0,9% dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Selanjutnya epididimis kauda dicacah dengan menggunakan silet di dalam larutan HBSS (komposisi larutan HBSS dapat dilihat pada lampiran 6) (Freshny, 1987) sebanyak 10 ml sampai terbentuk suspensi (Syamrizal, 1995). Diambil 1 ml suspensi dan diencerkan sampai mencapai volume 10 ml, kemudian diambil dari suspensi hasil pengenceran sampai skala 0,5 dengan menggunakan pipet hemositometer Improved Neubauer untuk sel darah merah dan meneteskan pada kaca benda Improved Neubauer kemudian diamati dan dihitung.
Pengamatan dan penghitungan dilakukan dengan mikroskop cahaya perbesaran 10 x 40. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan hand counter, dan diulangi sebanyak tiga kali untuk masing-masing suspensi spermatozoa dari setiap epididimis kauda. Cara penghitungan jumlah spermatozoa berdasarkan prosedur WHO (1998) dalam Syamrizal (1995) sebagaimana tercantum dalam lampiran 7. Dalam pengamatan morfologi spermatozoa diambil suspensi spermatozoa hasil pengenceran kemudian diwarnai terlebih dahulu dengan Eosin-Nigrosin (modifikasi cara Bloom dalam WHO, 1988 dalam Syamrizal, 1995) metode pewarnaan Eosin-Nigrosin dapat dilihat dalam lampiran 8. Cara penghitungan jumlah spermatozoa dilakukan dengan menghitung jumlah spermatozoa secara keseluruhan termasuk juga menghitung jumlah spermatozoa abnormal.

F. Analisis Data
Data yang meliputi jumlah spermatozoa, berat epididimis dan persentase spermatozoa yang abnormal diuji dengan Analisis Varians (ANAVA) satu jalur dan apabila dari hasil perhitungan menunjukkan hasil yang signifikan, maka selanjutnya digunakan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) (Zar, 1984).


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian dan Analisis Data
Hasil penelitian tentang Efek Amfetamin Terhadap Spermatogenesis Mencit (Mus musculus A/J) meliputi jumlah spermatozoa, berat epididimis dan persentase spermatozoa abnormal, akan dibahas berikut ini.

1. Jumlah Spermatozoa
Hasil perhitungan jumlah spermatozoa dapat dilihat pada lampiran 1, sedangkan rerata perhitungan jumlah spermatozoa disajikan pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Rerata Perhitungan Jumlah Spermatozoa
Dosis ( mg/kg bb) Jumlah Spermatozoa ( juta/ml)
0 9.6389
4.2 9.3
4.9 9.1056
5.6 10.35003

Setelah dianalisis dengan ANAVA diperoleh nilai F hitung < F tabel 0.05 yang berarti bahwa tidak ada pengaruh pemberian amfetamin dalam berbagai dosis terhadap jumlah spermatozoa mencit. Hasil perhitungan jumlah spermatozoa dengan analisis varian, selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 2.

2. Berat Epididimis
Hasil perhitungan berat epididimis dapat dilihat pada lampiran 1, sedangkan rerata perhitungan berat epididimis disajikan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Rerata Perhitungan Berat Epididimis
Dosis ( mg/kg bb) Berat Epididimis (gram)
0 0.014333
4.2 0.014725
4.9 0.015475
5.6 0.015117

Setelah dianalisis dengan ANAVA diperoleh nilai F hitung < F tabel0,05 yang berarti bahwa tidak ada pengaruh pemberian amfetamin dalam berbagai dosis terhadap berat epididimis mencit. Hasil perhitungan berat epididimis dengan analisis varian, selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3.

3. Persentase Spermatozoa Abnormal
Data tentang persentase spermatozoa abnormal diperoleh berdasarkan metode perhitungan sperma yang ditetapkan oleh WHO (1998) dalam Syamrizal (1995). Data selengkapnya mengenai jumlah spermatozoa abnormal dapat dilihat dalam lampiran 1. Berikut ini adalah rerata persentase spermatozoa abnormal yang disajikan dalam tabel 4.3.
Tabel 4.3. Rerata Persentase Spermatozoa Abnormal
Dosis ( mg/kg bb) Spermatozoa Abnormal (%)
0
81.7165a
4.2 90.66633b
4.9 93.539b
5.6 96.034b

Berdasarkan hasil analisis varians terhadap persentase jumlah spermatozoa abnormal (hasil penghitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4) menunjukkan bahwa F hitung > F tabel0.05 berarti ada pengaruh pemberian amfetamin terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal. Dengan demikian dapat dilakukan uji lanjut BNT untuk mengetahui kelompok perlakuan manakah yang mulai memberikan pengaruh terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal.
Dari hasil uji lanjut BNT (perhitungan selengkapnya pada lampiran 4) diketahui bahwa pada dosis amfetamin 4,2 mg/kg bb telah memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal bila dibandingkan dengan kontrol. Begitupun dengan dosis-dosis yang lainnya juga menunjukkan pengaruh yang nyata. Namun dari hasil uji BNT juga diketahui bahwa tidak ada perbedaan pengaruh besarnya dosis amfetamin yang diberikan terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal. Hal ini ditunjukkan dengan notasi BNT yang sama baik pada mencit yang disuntik dengan amfetamin dosis 4,2 mg/kg bb; 4,9 mg/kg bb maupun dosis 5,6 mg/kg bb.
Untuk macam-macam abnormalitas sperma yang ditemukan selama pengambilan data, ditunjukkan dalam sebagai berikut:
a. Spermatozoa normal
b. Bagian tengah melengkung dan kepala kecil
c. Kait pada kepala bengkok
d. Bagian tengah melengkung
e. Kepala kecil (mikrosephali)
f. Droplet sitoplasma
g. Bentuk kepala tidak normal (tidak berbentuk sabit)
h. Ekor melengkung
i. Ekor membentuk sudut dan kait pada kepala tidak normal
j. Bagian tengah melengkung dan menempel pada kepala, ekor membentuk sudut
k. Bagian tengah melengkung, ekor membentuk sudut dan kepala tidak normal
l. Bagian tengah dan ekor melengkung
D. Pembahasan
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah amfetamin yang diberikan pada mencit dapat berpengaruh terhadap spermatogenesis, ditinjau dari jumlah spermatozoa dan peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal. Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa dengan pemberian amfetamin dalam berbagai dosis ternyata tidak berpengaruh terhadap jumlah spermatozoa. Jumlah spermatozoa yang dihasilkan oleh mencit yang disuntik dengan amfetamin tidak berbeda nyata dengan jumlah spermatozoa yang dihasilkan oleh mencit dari kelompok kontrol. Namun demikian pemberian amfetamin dalam berbagai dosis ternyata dapat meningkatkan persentase jumlah spermatozoa abnormal.
Amfetamin diketahui memiliki kemiripan struktur dengan dopamin yaitu pada gugus amina dan pada C-β (Tanu, 1995). Dopamin merupakan senyawa peptida yang dihasilkan oleh neuron-neuron TIDA yang terletak di nukleus arkuata dan berfungsi mengatur sekresi GnRH yang juga dihasilkan di hipotalamus (Lestari, 2002). Dengan kemiripan tersebut amfetamin dapat berasosiasi dengan GnRH sehingga berakibat pada menurunnya konsentrasi GnRH bebas dan berakibat pula pada menurunnya konsentrasi FSH dan LH (Handly, 2002). Seperti diketahui bahwa LH berpengaruh terhadap sel Leydig dalam memproduksi testosteron, sedangkan testosteron sendiri berperan dalam spermatogenesis.
Dari hasil penelitian diperoleh jumlah spermatozoa tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol hal ini diperkuat oleh data tentang berat epididimis kelompok perlakuan yang tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Ini dimungkinkan penurunan konsentrasi FSH yang terjadi sebagai akibat tidak langsung dari amfetamin kurang berpengaruh terhadap proliferasi spermatogonia yang terjadi pada awal spermatogenesis. Seperti diketahui FSH berpengaruh terhadap proliferasi spermatogonia (Zhang, 2003), demikian pula berfungsi untuk pertumbuhan sel germinatif (Gofur, 2002). Dengan demikian dimungkinkan amfetamin yang diberikan dengan berbagai dosis tidak sampai mengganggu aktivitas FSH pada tahap inisiasi spermatogenesis, ditunjukkan dengan jumlah spermatozoa yang tidak berbeda dengan kontrol.
Peningkatan prosentase spermatozoa abnormal yang diperoleh dari penelitian ini mungkin disebabkan karena penurunan konsentrasi FSH mengganggu kelangsungan meiosis yang dialami oleh spermatosit primer. Seperti diketahui FSH berpengaruh terhadap pembelahan meiosis (Zhang, 2003). Pada pembelahan meiosis ini, yaitu pada stadia pakiten profase I, dimana pada stadia ini berlangsung proses pindah silang (“Crossing over”) yang rentan terhadap faktor luar. Menurut Johnson & Everitt (1988) spermatosit primer pada stadia ini mudah sekali mengalami kerusakan, sehingga peluang terjadinya abnormalitas pada susunan kromosom spermatosit primer karena pengaruh faktor hormonal seperti penurunan FSH sangat besar sekali.
Selain itu, juga dimungkinkan karena penurunan konsentarsi LH berpengaruh terhadap sel Leydig sehingga produksi testosteron menurun. Mekanisme penurunan testosteron disebabkan terganggunya aktivitas adenil siklase karena kecilnya konsentrasi LH. Gangguan ini mengakibatkan cAMP menurun dan diikuti menurunnya fosforilasi protein intraseluler, sehingga perubahan pregnenolone menjadi testoteron terganggu dan berakibat menurunnya testosteron. Seperti diketahui testosteron sangat diperlukan selama tahap transformasi/spermiogenesis (Zhang, 2003). Kalau testosteron itu menurun mengakibatkan spermiogenesis terganggu sehingga akan menghasilkan morfologi spermatozoa yang kurang normal.
Di samping itu testosteron juga berpengaruh terhadap maturasi spermatozoa di epididimis (Handayani, 2001). Jika terjadi penurunan testosteron maka sel epididimis akan mengalami regresi fungsi dan struktur. Regresi fungsi yang terjadi pada sel epididimis dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas sekunder pada spermatozoa, hal ini terjadi karena gangguan terhadap sekresi yang dihasilkan oleh sel epididimis yang dibutuhkan untuk perubahan morfologi akrosom (Johnson & Everitt, 1988). Gangguan pada maturasi spermatozoa mengakibatkan abnormalitas spermatozoa.


BAB V
PENUTUP


A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada pengaruh amfetamin terhadap jumlah spermatozoa yang dihasilkan pada mencit (Mus musculus) galur A/J.
2. Amfetamin berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan persentase jumlah spermatozoa abnormal pada mencit (Mus musculus) A/J.

B. SARAN
Saran-saran yang dapat dikemukakan oleh penulis bagi semua pengguna hasil penelitian ini dan yang sejenisnya adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian yang sejenis terhadap mamalia yang lebih tinggi tingkatannya untuk mengetahui apakah amfetamin yang diberikan juga dapat menimbulkan pengaruh yang sama.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang kadar FSH dan LH dalam darah akibat amfetamin.



DAFTAR RUJUKAN

Albert, M. dan Roussel, C. 1983. Change From Puberty to Adulthoodin The Concentration, Motility and Morphology of Mouse Epididymal Spermatozoa. International Journal of Andrology, 6 (1983): 446-460. [Full text].

Anonimusa, 1986. Tekhnik Farmakodinami dan Keamanan Obat. Bandung: ITB.

Anonimusb, 1991. Facts about Amphetamines. (http:// www.arf.org/isd/pim/amph. html). [Full text].

Anonimusc, 1999. Jenis dan Efek. (http://www.Anti.or). [Full text].

Behre, Herman M. & Bergmann, Martin. 2003. Primary Testicular Failure. (http://www.endotext.com, diakses 9-09-2004). [Full Text].

Freshny, R. I. 1987. Culture of Animal Cells, A Manual of Basic Technique, 2nd ed. New York: Alan R. Liss, Inc.

Gardner, Eldon John. 1991. Principles of Genetics. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Gofur, Abdul. 2002. Spermatogenesis. Malang: Biologi_UM.

Handayani, Nursasi. 2001. Fisiologi Reproduksi: Fungsi Testis dan Fertilisasi. Malang: Biologi_UM.

Handly, N. 2002. Toxicity Amphetamine. (http://www.emedicine.com.). [Full text].

Hardjopranoto, S. 1995. Ilmu kemajiran Pada Ternak. Surabaya: AUP.

Hayati, A. 2001. Efek Amfetamin Terhadap Ultrastruktur Sel Spermatogenik Tikus. Seminar PBI Cabang Jatim.

Johnson, Martin & Everitt, Barry. 1988. Essential Reproduction. London: Blackwell Scientific Publications.

Kee, Joyce L. & Hayes, Evelyn R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lestari, Umie. 2002. Fisiologi Reproduksi I. Malang: IMSTEP_JICA Biologi UM.

Nalbandov, A. V. 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan Unggas. Jakarta: UI Press.

Roberts, Debra. 1996. Designer Drugs. (http://www.camh.net) [Full text].

Rugh, R. 1968. The Mouse: Its Reproduction & Development. USA: Burgess Publishing. Co.

Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1981. Principles and Procedures of Statistics, a Biometrical Approach. Singapore: Mc. Graw Hill book. Co.

Suryo. 1995. Sitogenetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Syamrizal. 1995. Pengaruh Asam Metoksilat Terhadap Organ Reproduksi dan Fertilitas Mencit Albino Swiss Webster Jantan. Skripsi tidak diterbitkan, Bandung: ITB.

Tanu, Ian. 1987. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru, Bagian FK UI.

Toelihere, M. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: ITB.

Yatim, Wildan. 1982. Reproduksi dan Embriologi. Bandung: Penerbit Tarsito.

Zaar, H. J. 1984. Biostastical Analysis. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Zhang, Fu-Ping; Pakarainen, Tomi; Poutanen, Matti; Toppari, Jorma; & Huhtaniemi, Ilpo. 2003. The Low Gonadotropin-Independent Constitutive Production of Testicular Testosterone is Sufficient to Maintain Spermatogenesis. PNAS. November 11, 2003. Vol. 100. No. 23. 13692-13697. (http://www.pnas.org/cgi/content/full/100/2313692, diakses 19-09-2004). [Full text].

1 komentar:

  1. Casino Northern: $12K Welcome Bonus | 2021
    › casino-northern- › casino-northern- How many days are casinos Northern casinos will 토토 사이트 제작 host? — How many days are casinos Northern 해외 안전 놀이터 casinos 가상화폐 종류 will host? Casino Northern: 포커 용어 2021 Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino Northern: Casino 라이브채팅

    BalasHapus