Rabu, 02 September 2009

BIOETIKA DAN DILEMA TANAMAN TRANSGENIK DALAM UPAYA PEMENUHAN PANGAN DUNIA

A. Pendahuluan
Di masa yang akan datang pertumbuhan penduduk dunia semakin meningkat. Proyeksi pada tahun 2030 yang dilaporkan Brown dan Kane (1994) dalam Aisyah (2003) memperlihatkan peningkatan jumlah penduduk cukup fantastis, kurang lebih 160% dari jumlah penduduk tahun 1990. Prediksi di Asia, India menempati rangking pertama (590 juta), disusul Cina (490 juta), Pakistan (197 juta), Bangladesh (129 juta) dan Indonesia (118 juta). Saat ini diduga 900 juta dari 5,8 miliar penduduk dunia terutama di negara-negara Asia dan Afrika pada saat ini sedang mengalami kelaparan akibat penurunan produksi pertanian per kapita (Suranto 1999) dalam Aisyah (2003). Penyebab utama penurunan produksi adalah gangguan hama dan penyakit tanaman. Laju peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali secara tidak langsung juga ikut andil memperburuk situasi ini. Upaya peningkatan produktivitas yang telah dilakukan belum dapat mencukupi kebutuhan karena selalu tidak mampu mengimbangi kecepatan peningkatan jumlah penduduk.
Beberapa dasawarsa yang lalu upaya meningkatkan dan memperbaiki kualitas produksi pertanian masih signifikan karena ketersediaan sumber daya alam dan teknologi pertanian cukup memadai dan berimbang dengan laju pertumbuhan penduduk. Keadaan ini sulit untuk dicapai atau dipertahankan di masa yang akan datang, kecuali jika ada pendekatan baru yang menawarkan ide dan teknik untuk meningkatkan produktivitas secara dramatis. Pencegahan serangan hama dan penyakit tanaman yang telah dilakukan dengan menggunakan pestisida tidak memberikan hasil yang memuaskan, mahal (hampir ¼ biaya produksi) dan terbukti berdampak negatif bagi lingkungan dan kehidupan. Aplikasi pestisida ini telah menyebabkan polusi air, tanah maupun udara. Oleh karena itu adopsi suatu teknologi baru tampaknya sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi produksi, memperbaiki kualitas produk dan meminimalkan pencemaran lingkungan. Teknologi baru tersebut bukan hanya membantu meningkatkan hasil pertanian untuk saat ini tetapi juga untuk masa-masa yang akan datang (Zohrah 2001).
Dengan adanya bioteknologi pertanian yang menghasilkan tanaman transgenik diyakini dapat menjadi tumpuan bagi masa depan umat manusia, yang terus bertambah jumlahnya di bumi yang kian ciut dan merosot kualitas lingkungannya ini. Namun, di masyarakat muncul kekhawatiran terhadap produk transgenik dan keamanannya bagi kesehatan manusia, keanekaragaman hayati dan lingkungan (Kompas, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa disamping produk teknologi, kita juga membutuhkan pengetahuan yang dapat menuntun kita supaya teknologi yang kita miliki dalam aplikasinya tergolong teknologi tepat guna dan ramah lingkungan. Karenanya dalam masa-masa mendatang kita perlu memasukkan kajian bioetika dalam hubungannya dengan pengaplikasian dari semua produk bioteknologi, termasuk diantaranya tanaman transgenik. Hal ini sangat diperlukan supaya jangan sampai produk transgenik yang kita harapkan mengatasi masalah, justru menambah masalah hanya karena adanya efek-efek yang tidak seperti harapan masyarakat. Bioetika secara langsung diharapkan mampu mengarahkan para ahli kita untuk memilih dan memutuskan produk transgenik mana yang diperlukan oleh masyarakat dan produk manakah yang tepat bagi masyarakat.

B. Perumusan Masalah
Tanaman transgenik yang dihasilkan melalui rekayasa genetika untuk sementara disimpulkan telah memberikan manfaat berupa peningkatan hasil, memberikan keuntungan dan efisiensi dalam proses produksi. Namun demikian sampai saat ini bahan pangan produk tanaman transgenik diterima dengan pandangan dan persepsi yang berbeda oleh masyarakat sesuai dengan informasi yang didapat. Untuk itu bioetika sangat diperlukan guna memperoleh produk tanaman transgenik yang sesuai atau yang dapat diterima oleh masyarakat tanpa menimbulkan persepsi yang berbeda serta aman bagi manusia dan lingkungannya.

C. Teori
Teknologi produksi tanaman transgenik
Ahli rekayasa genetik tanaman melakukan transformasi gen dengan tujuan untuk memindahkan gen yang mengatur sifat-sifat yang diinginkan dari satu organisme ke organisme lainnya. Beberapa sifat yang banyak dikembangkan untuk pembuatan tanaman transgenik misalnya (1) gen resistensi terhadap hama, penyakit dan herbisisda, (2) gen kandungan protein tinggi, (3) gen resistensi terhadap stres lingkungan seperti kadar alumium tinggi ataupun kekeringan dan (4) gen yang mengekspresikan suatu ciri fenotipe yang sangat menarik seperti warna dan bentuk bunga, bentuk daun dan pohon yang eksotik (Umar, 2002).
Dalam hubungannya dengan pembuatan tanaman transgenik terdapat tiga komponen penting yaitu: (Siatoepe, 2001)
1. Isolasi gen target. Gen target yang kita inginkan misalnya gen Bt (gen tahan terhadap penggerek yang diisolasi dari bakteri Bacillus thurigenensis) diekstrak kemudian dipotong dengan enzim restriksi. Gen yang sudah terpotong-potong kemudian diseleksi bagian gen mana yang menyandikan gen Bt dan diisolasi. Potongan gen Bt kemudian disisipkan ke dalam DNA sirkular (plasmid) sebagai vektor menghasilkan molekul DNA rekombinan gen Bt. Vektor yang sudah mengandung molekul DNA rekombinan gen Bt dimasukkan kembali ke dalam sel inang yaitu bakteri untuk diperbanyak. Sel inang akan membelah membentuk progeni baru yang sudah merupakan sel DNA rekombinan gen Bt.
2. Proses transfer gen ke tanaman target. Agar sel DNA rekombinan get Bt dapat terintegrasi pada inti sel tanaman maka diperlukan vektor yang lain lagi untuk memindahkan gen Bt ke dalam inti sel tanaman. Vektor tersebut adalah bakteri Agrobacterium tumefaciens. Bakteri ini menyebabkan penyakit tumor pada tanaman. Penyakit ini akan terjadi bila terdapat luka pada batang tanaman sehingga memungkinkan bakteri menyerang tanaman tersebut. Luka pada tanaman mengakibatkan tanaman mengeluarkan senyawa opine yang merangsang bakteri untuk menyerang tanaman dimana senyawa ini merupakan sumber carbon dan nitrogen dari bakteri. Akibat masuknya bakteri menyebabkan terjadinya proliferasi sel yang berlebihan sehingga menimbulkan penyakit tumor pada tanaman.
Kemampuan untuk menyebabkan penyakit ini pada tanaman ternyata ada hubungannya dengan DNA sirkular (plasmid) Ti (Tumor inducing plasmid) dalam sel bakteri A. tumefaciens. Sifat yang menyolok pada plasmid Ti ialah bahwa setelah infeksi oleh A. tumefaciens, sebagian dari molekul DNAnya berintegrasi dalam DNA kromosom tanaman. Segmen ini dikenal dengan nama T-DNA (transfer DNA)
Metode kerjasama antara tanaman dan A. tumefaciens ini digunakan oleh ahli rekayasa genetika tanaman untuk memindahkan gen Bt agar dapat terintegrasi dalam sel tanaman. Oleh karena itu langkah selanjutnya adalah menyisipkan DNA rekombinan yang sudah membawa gen Bt ke dalam plasmid Ti dari A. tumefaciens. Setelah itu A. tumefaciens yang membawa gen Bt diinokulasikan pada tanaman. Proses inokulasi tersebut dilakukan pada tanaman target yang sedang diregenerasikan dalam kultur jaringan. Hal ini memudahkan bagi proses transfer gen Bt ke dalam inti jaringan tanaman dimana tanaman masih dalam proses pembelahan sel yang sangat aktif .
3. Expresi gen pada tanaman transgenik. Gen yang sudah dimasukkan ke dalam tanaman target dalam hal ini adalah gen Bt yang mengekspresikan tanaman transgenik tahan terhadap hama penggerek harus dapat diexpresikan. Untuk mengetahui apakah gen tersebut terekspresi atau tidak digunakan penanda yaitu selectable and scoreable marker, dimana apabila tanaman target dapat tumbuh pada media yang mengandung antibiotika atau tanaman target menampakan warna khusus (warna biru untuk penanda gen gus) maka tanaman target itu adalah tanaman transgenik.

D. Pembahasan
Kekhawatiran Dampak Organisme atau Pangan Produk Transgenik
Penerapan bioteknologi seperti manipulasi gen pada tanaman budidaya telah memberikan manfaat yang tidak terbatas. Secara alamiah tumbuhan mengalami perubahan secara lambat sesuai dengan keberhasilan adaptasi sebagai hasil interaksi antara tekanan lingkungan dengan variabilitas genetika. Campur tangan manusia melalui rekayasa genetik telah mengakibatkan “revolusi” dalam tatanan gen. Perubahan drastis ini telah menimbulkan kekhawatiran akan munculnya dampak produk transgenik baik terhadap lingkungan, kesehatan maupun keselamatan keanekaragaman hayati (Aisyah, 2003).
Dalam banyak hal bahaya produk transgenik yang diduga akan muncul terlalu dibesar-besarkan. Tidak ada teknologi yang tanpa resiko, demikian pula dengan produk rekayasa genetik. Resiko dari produk transgenik tidak akan lebih besar dari produk hasil persilangan alamiah. Beberapa resiko pangan transgenik yang mungkin terjadi antara lain resiko alergi, keracunan dan tahan antibiotik (Fagan, 1997) dalam Aisyah (2003). Pangan transgenik berpotensi menimbulkan alergi pada konsumen yang memiliki sensitivitas alergi tinggi. Keadaan itu dipengaruhi sumber gen yang ditransformasikan. Kasus ini pernah terjadi pada kedelai transgenik dengan kandungan methionin tinggi, sehingga produknya tidak diedarkan setelah penelitian menunjukkan adanya unsur alergi. Kekhawatiran keracunan didasarkan pada sifat racun dari gen Bt terhadap serangga. Kecemasan tersebut tidak beralasan karena gen Bt hanya aktif bekerja dan bersifat racun bila bertemu sinyal penerima dalam usus serangga yang sesuai dengan kelas virulensinya. Gen tersebut tidak stabil dan tidak aktif lagi pada pH di bawah 5 dan suhu 65° C , artinya manusia tidak akan keracunan gen Bt terutama untuk bahan yang harus dimasak terlebih dahulu. Kemungkinan lain adalah resistensi mikroorganisme dalam tubuh menjadi lebih “kuat”. Kejadian ini peluangnya kecil karena gen yang ditranfer melalui rekayasa genetik akan terinkorporasi ke dalam genom tanaman.
Kekhawatiran bahaya terhadap keselamatan sumber daya hayati diduga terjadi melalui beberapa cara seperti 1) terlepasnya organisme transgenik ke alam bebas, dan 2) tranfer gen asing dari produk transgenik ke tanaman lain sehingga terbentuk gulma yang dapat merusak ekosistem yang ada sehingga mengancam keberadaan sumber daya hayati. Perubahan tatanan gen dapat mengakibatkan perubahan perimbangan ekosistem hayati dengan perubahan yang tidak dapat diramalkan (Hartiko, 1995) dalam Aisyah (2003). Prinsip dasar biologi molekuler menunjukkan 2 sumber utama resiko yang mungkin timbul. Pertama, perubahan fungsi gen melalui proses rekayasa genetik. Penyisipan gen berlangsung secara acak sehingga sulit untuk dikontrol dan diprediksikan apakah gen tersebut akan rusak atau berubah fungsi. Kedua transgen dapat berinteraksi dengan komponen seluler. Kompleksitas kehidupan organisme mengakibatkan kisaran interaksi tersebut tidak dapat di ramalkan atau dikontrol (Fagan, 1997) dalam Aisyah (2003).
Secara teoritis tanaman transgenik merupakan bagian dari masa depan karena sampai saat ini bukti-bukti ilmiah menunjukkan tidak ada alasan “kuat” untuk mempercayai adanya resiko “unik“ yang berkaitan dengan produk transgenik. Produk bioteknologi modern sama aman atau berbahayanya dengan makanan yang dihasilkan melalui teknik-teknik tradisional. Bagaimanapun di masa yang akan datang, bioteknologi modern berpotensi sebagai alat untuk menjawab tantangan dan membuka kesempatan dalam mengembangkan bidang pertanian terutama untuk memperoleh bahan makanan yang lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik.

Sikap terhadap Produk Transgenik

Pentingnya pengetahuan tentang ilmu rekayasa genetika. Pemberi informasi yang tidak dibekali dasar pengetahuan tentang rekayasa genetika biasanya cenderung menelan mentah-mentah ulasan pers asing sehingga objektifitas permasalahan dan validitas data sulit diperoleh. Sebagai contoh adalah penolakan negara barat terhadap padi transgenik yang menghasilkan provitamin A. Penolakan ini terjadi karena mereka bisa memperoleh vitamin A dari sumber lain. Bagi negara-negara berkembang yang rawan pangan bahan pangan yang kaya vitamin A sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu penting untuk memahami terlebih dahulu latar belakang penolakan produk transgenik di suatu negara (Suwanto 2000a) dalam Aisyah (2003).
Preferensi pribadi lebih baik tidak ditanggapi secara umum. Diperlukan informasi yang seimbang dan kebijakan yang hati-hati dari pemerintah dan pihak terkait yang dapat dijadikan acuan bagi orang awan untuk menentukan sikap dalam mengambil keputusan terhadap produk transgenik. Penilaian terhadap tanaman transgenik dapat mengandung persaingan bisnis yang terselubung (Suwanto 2000a) dalam Aisyah (2003). Pestisida kimiawi tidak terlalu diperlukan lagi dalam budidaya tanaman transgenik yang tahan serangan hama dan penyakit, sehingga pihak-pihak berkepentingan akan berusaha menuntun masyarakat dalam menentukan sikap sesuai tujuan mereka masing-masing.
Bukti ilmiah diperlukan untuk menghilangkan keraguan. Salah satu kekhawatiran yang paling menonjol adalah terjadinya transfer gen dari organisme transgenik ke mikroorganisme. Secara alamiah transfer gen sangat jarang terjadi. Frekuensi pengambilan DNA linier oleh permukaan sel 10-5 atau lebih kecil, untuk terintegrasi ke dalam genom resipien memerlukan illegitimate recombination dengan frekuensi 10-8 atau lebih kecil dan kemudian untuk ekspresinya dibutuhkan aktivasi oleh elemen loncat dengan frekuensi 10-5 atau lebih kecil sehingga total frekuensi suatu gen ditransformasikn di alam adalah 10-18. Bakteri dalam usus besar manusia tidak lebih dari 1015 dan dalam satu gram tanah hanya sekitar 1010, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kejadian transformasi gen di alam tadi probabilitasnya mendekati nol. Dalam kondisi tanpa tekanan seleksi, frekuensi gen sebesar 10-6 sulit terjadi karena jumlah bakteri yang mendapat transfer gen tidak sebanding dengan bakteri yang tidak mendapatkannya (Suwanto 2000b) dalam Aisyah (2003).
Tekanan seleksi yang menguntungkan bakteri penerima gen, maka transfer gen tersebut akan memberikan akibat yang nyata. Dalam melakukan penilaian terhadap produk transgenik pertimbangan ada tidaknya tekanan seleksi pada suatu kejadian yang jarang terjadi perlu mendapat perhatian serius. Perkembangan pengetahuan saat ini belum memungkinkan untuk menghitung semua probabilitas kejadian transfer gen secara tepat. Pada dasarnya belum tersedia informasi untuk membuat perhitungan kemungkinan suatu tahapan transfer gen. Data seperti itu diperkirakan belum dapat tersedia dalam waktu dekat karena variasi prokariota yang luar biasa atau mungkin terdapat mekanisme tranfer gen yang baru. Analisis resiko yang fair dapat dilakukan dengan membandingkan produk yang akan dianalisis dengan aplikasi yang secara umum telah dierima. Misalnya bila pemberian antibiotik untuk hewan dalam waktu yang lama dan terus menerus dianggap aman maka pemberian produk transgenik sebagai pakan dianggap lebih aman. Kedua kejadian itu mengambil resiko teoritis yang sama yaitu pengambilan DNA oleh bakteri usus melalui transformasi alamiah dan integrasi DNA ke dalam genom resipien. Pendekatan evaluasi seperti ini tidak diskrimanatif dalam menilai produk yang berbeda (Suwanto 2000b) dalam Aisyah (2003).
Penggunaan bioteknologi telah diakui sebagai teknologi yang memberi manfaat terutama dalam aktivitas pertanian. Meskipun demikian aplikasi tersebut harus tetap diiringi dengan langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan produk tersebut tidak membahayakan kehidupan manusia. Protokol keamanan hayati Cartagena adalah salah satu upaya global yang dapat dipakai masyarakat dunia untuk mematuhi peraturan yang berkaitan dengan produk transgenik. Keberadaan peraturan-peraturan ini diharapkan tidak menghalangi pertumbuhan dan perkembangan bioteknologi (Zohrah 2001).
Setahun terakhir ini issue bioteroris menjadi fenomena baru yang muncul akibat banyaknya aksi teror yang terjadi pada saat teknik rekayasa genetika berkembang sangat pesat. Prestasi gemilang rekayasa genetika yang telah dicapai dibayangi penyalahgunaan oleh teroris. Kebebasan mengakses data genetika pada gen bank dikhawatirkan akan dimanfaatkan para teroris sebagai sarana menciptakan senjata yang berbahaya bagi keselamatan manusia. Presiden Amerika pada pertengahan tahun lalu telah menandatangani UU bioterorisme yang mencakup kesanggupan Amerika terhadap kontrol zat biologi berbahaya dan racun, keselamatan dan keamanan pasokan makanan, obat-obatan dan air minum. Kekhawatiran penyalahgunaan data genetika ini diragukan karena tidak ada pakar yang mumpuni untuk mengubah informasi tersebut menjadi senjata berbahaya. Database yang ada tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan bakteri atau virus pembunuh. Upaya menyembunyikan data genetika justru akan mendorong kepada sains yang membahayakan. Sebagai tindakan kewaspadaan, data akan diklasifikasikan khususnya data dari sejumlah organisme yang dikenal berbahaya. Membuka akses publik terhadap data tersebut dianggap lebih banyak manfaat karena akan merangsang berbagai penelitian untuk mencapai kemajuan dari pada kerugiannya, seperti yang dikemukakan oleh Baber dalam Suriasoemantri (1988) bahwa seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuan apapun bentuknya dari masyarakat luas dan apapun yang menjadi konsekuensinya (Aisyah, 2003).
Dalam upaya memberikan informasi yang transparan tentang tanaman transgenik kepada masyarakat, perlu adanya kerja sama yang erat diantara semua pihak yang terlibat (stakeholders). Berikut adalah beberapa hal yang perlu dilakukan oleh stakeholder untuk mengkaji lebih jauh tentang pengembangan tanaman transgenik :
(1) Pemerintah
Sebagai pihak yang dapat menentukan kebijakan, pemerintah harus membuat peraturan-peraturan yang tegas tentang keberadaan tanaman transgenik, baik yang mengenai pemanfatannya maupun bagi dampak yang ditimbulkannya. Disamping itu, pemerinyah dapat menunjuk lembaga-lembaga independen yang bertugas mengawasi pengembangan tanaman transgenik. Pemerintah juga harus menghindari vested interest atau kepentingan tertentu pada tanaman transgenik karena dianggap dapat mendukung kebijakan penyediaan pangan. Independensi komisi keamanan hayati dan tanaman pangan sangat diperlukan.
(2) Peneliti
Lembaga penelitian harus melakukan tahapan kegiatan sesuai dengan standard operating procedures (sop). Disamping itu, peneliti juga harus melakukan pengawasan ketat sesuai dengan integritas ilmiah. Disisni perlu adanya suatu komisi etika yang mendampingi dan mengawasi proyek penelitian dari sudut pandang etika. Selain itu, penelitian yang dilakukan harus melibatkan semua pihak termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi lainnya.
(3) Produsen
Transparansi produk transgenik harus diutamakan, caranya antara lain dapat dilakukan melalui labelling sehingga produk tersebut dapat diketahui dengan jelas oleh masyarakat. Produsen jangan hanya berorientasi komersial pada keuntungan semata tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan sekitarnya.
(4) Petani
Petani harus mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang tanaman transgenik tersebut. Disamping itu, petani disarankan tidak berorientasi pada keuntungan sesaat atau jangka pendek, tetapi harus memperhatikan kontinuitas produksi dan pendapatannya.

(5) Masyarakat
Sebagai pihak yang akan menggunakan produk transgenik, masyarakatharus bersikap hati-hati dan kritis. Informasi yang jelas dan rinci tentang apa dan bagaimana tanaman transgenik harus diketahui dengan pasti. Setidak-tidaknya sikap atau keputusan yang diambil telah didasarkan atas data dan fakta yang tidak keliru atau menyesatkan.

Bioetika dalam Penelitian Bioteknologi
Menurut Moeljopawiro (2002) dalam Aisyah (2003), bioetika adalah etika yang terkait dengan kehidupan yang pertanggungjawabannya dua arah yaitu vertikal dan horizontal, kepada Yang Maha Pencipta dan kepada sesama manusia. Sukara (2002) menambahkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat seakan-akan berlangsung secara otomatis dan tidak tergantung kepada kemauan manusia, sehingga seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan tadi tidak memperhatikan aspek etika. Akibatnya pada saat teknologi akan diterapkan sering mendapatkan reaksi negatif dari kalangan masyarakat.
Perkembangan revolusi genetika yang begitu pesat memberi peluang sangat besar terjadinya perubahan-perubahan di masa mendatang yang akan berpengaruh besar terhadap peradaban manusia. Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia untuk mencapai tujuan hidup yang berhubungan dengan hakekat kemanusiaan itu sendiri (Nasoetion 1999) dalam Aisyah (2003). Posisi pakar ilmu menurut Sukara (2002) sangat penting karena hanya mereka yang mampu menganalisis potensi risiko dan keuntungan serta memiliki kewajiban etis untuk menganalisis secara fair, terbuka dan tidak berat sebelah. Keputusan akhir tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada ilmuwan karena monopoli ilmu tidak berarti memonopoli etika dan kearifan. Dari standar etika dan kaidah berperilaku yang diberlakukan kelompok keilmuwan lain terutama dari etika kelompok ilmuwan biologi (Rifai 2002), dapat diperkirakan etika dan kaidah perilaku ilmuwan bioteknologi adalah pertama ilmuwan bioteknologi harus menghormati standar etika tertinggi, mengemban kewajiban moral dan tanggung jawab profesional terhadap masyarakat umum artinya secara aktif dan proaktif melayani dan memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Pernyataan ilmiah untuk umum harus dijaga ketepatannya jauh dari sensasi tanpa membesar-besarkan kelebihannya ataupun menutupi kekurangannya. Kedua, pakar bioteknologi berkewajiban memajukan, memanfaatkan, mengembangkan dan menguasainya bidangnya untuk didarmabaktikan bagi kepentingan umum dan kesejahteraan umat manusia serta dapat memahami keterbatasan pengetahuan dan ilmunya serta menghormati makna kebenaran ilmiah. Ketiga, pakar bioteknologi senantiasa berusaha memajukan profesinya dengan meningkatkan kemampuan dan kompetensinya sehingga selalu dapat mengikuti perkembangan mutakhir bidangnya, mendukung perhimpunan ilmiahnya, menelorkan berbagai gagasan dan informasi guna menyuburkan kemitraan dalam bersinergi sesamanya. Keempat, pakar bioteknologi dituntut untuk memahami dan mengantisipasi dampak kegiatannya pada lingkungan, disamping berperikemanusiaan mereka perlu pula berperikehewanan dan berperiketumbuhan. Nasoetion (1999) dalam Aisyah (2003) menambahkan bahwa kewajiban seorang ilmuwan secara batiniah adalah memberikan sumbangan pengetahuan baru yang benar kepada kumpulan pengetahuan yang benar yang sudah ada, walaupun ada tekanan ekonomi, atau sosial yang memintanya untuk tidak melakukan hal itu, karena tanggung jawab para ilmuwan adalah memerangi ketidaktahuan, prasangka dan takhayul di kalangan manusia mengenai alam semesta ini.

Kesimpulan
Rekayasa genetika merupakan salah satu teknologi yang potensial sebagai alternatif pemecahan masalah pangan dunia untuk menghasilkan tanaman transgenik. Tanaman transgenik telah banyak dilepas sebagai tanaman pangan dengan tujuan seperti tahan insekta, tahan herbisida, mengandung vitamin dan gizi tinggi, tahan penyimpanan jangka panjang, dsb. Sampai saat ini fakta menunjukkan bahwa kelompok tanaman ini telah memberi banyak manfaat khususnya dalam dunia pertanian karena memiliki produktivitas dan kualitas tinggi serta lebih ramah lingkungan.
Tidak ada teknologi tanpa resiko, begitu juga dengan tanaman transgenik. Adanya resiko ini menimbulkan kekhawatiran pada kelompok tertentu. Kekhawatiran yang muncul disebabkan kurangnya pengetahuan dasar dan proses perakitan tanaman transgenik. Para ilmuwan tidak perlu menutupi resiko yang akan timbul jika ada, karena resiko tersebut sebenarnya merupakan awal dari penelitian berikutnya yang menjadi solusi dari problematika tersebut sehingga tetap bermanfaat bagi masyarakat umum.
Sikap masyarakat terhadap tanaman transgenik sangat bergantung kepada fakta yang muncul dari manfaat dan resiko tanaman transgenik. Sejauh ini manfaat sudah dirasakan tetapi resiko yang banyak muncul sebagai issu masyarakat masih merupakan dugaan dan belum ada bukti. Kelak jika resiko ini terbukti, para pakar yang kompeten di bidang ini perlu menginformasikannya kepada masyarakat sehingga masyarakat mendapatkan kebenaran yang hakiki.
Bioetika dalam pengembangan tanaman transgenik sangat diperlukan agar itikad baik ilmuwan terkait selalu terjaga untuk selalu mengarah kepada kemaslahatan bagi masyarakat banyak dan bukan sebaliknya.

Daftar Pustaka
Aisyah, dkk. 2003. Potensi Bioteknologi: Dilema Tanaman Transgenik. Makalah Pengantar Falsafah Sains, 29 April 2003. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB.

Rifai, A.M. 2002. Bioetika dan Kode Etika Biologiwan. Dalam Diskusi Panel Bioetika : Bagian Keseharian Ilmuwan. Dewan Riset Nasional, d.a. Kementrian Riset dan Teknologi, Jakarta & Herbarium Bogoriense Puslit Biologi – LIPI. Bogor

Siatoepoe, Mangku. 2001. Dampak penggunaan Rekayasa Genetika Telaah Menjadi Kenyataan. (http://www. Pikiran Rakyat, com/ cetak/ 0902/ 030801 htm., diakses tanggal 29 Agustus 2004).

Sukara, E. 2002. Pentingnya Bioetika Sebagai Kendali dan Arah Bagi Kemajuan Biosains : Beberapa Studi Kasus Yang Harus Dicermati. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

Suriasumantri, J.S. 1988. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Tanpa nama. 2000. Bioteknologi Pertanian: Peluang ataukah Petaka?. (http://www.kompas.com, diakses 21 November 2004).

Umar, Syukur., dkk. 2002. Tanaman Transgenik dan Persepsi Masyarakat. Makalah Pengantar Falsafah Sains, April 2002. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB.

Zohrah. 2001. Bioteknologi dan Biosefti. Dalam Rampak Serantau. Sariyan, A (Ed.). Pusat Fotostat. Hulu Kelang. Brunei Darussalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar